31 Juli 2014

Cerpen: Jogja Itu Mimpi

Jogja itu mimpi.
Kau punya cita-cita? Tentu saja, semua orang pasti memiliki cita-cita. Sebuah keinginan yang di dalamnya terselip harapan, usaha, dan doa. Kau percaya cita-citamu akan terwujud? Jika ada keyakinan dalam hatimu, apapun cita-citamu pasti jadi nyata.
Banyak orang bercita-cita ingin jadi ini, ingin jadi itu. Cita-cita setiap orang memang berbeda. Seperti aku. Salah satu dari cita-cita terbesarku adalah aku ingin ke Jogja. Salah satu kota dengan keindahan yang khas, hanya di Indonesia.
Semuanya pun terasa tidak jelas saat aku memikirkan sejak kapan cita-cita aneh ini muncul dalam otakku. Kemudian merambat ke hatiku. Sehingga tekad itu ada, aku ingin ke sana, ke Jogja.
Mungkin semua alasan berawal dari sahabatku yang akhirnya memutuskan untuk kuliah di kota pelajar itu. Bisa juga karena kakak sepupuku yang akhirnya memiliki kekasih yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Kraton Jogja. Mungkin juga karena lingkungan pergaulanku di kampus, yang nyatanya teman-temanku sudah pernah mencicipi nasi kucing khas angkringan Jogja, mampir sekedar foto-foto di Taman Sari Jogja, atau keliling Jogja naik TransJogja.
Angan-angan tentang Jogja semakin lama semakin bergelut dalam pikiranku. Menggelisahkan tidur malamku. Setiap hari, rasanya aroma Jogja begitu semerbak menjejal penciumanku. Wangi Malioboro.. Ahh.. Tahukah kau bahwa setiap daerah itu memiliki aroma yang khas dan berbeda-beda? Kau tidak percaya? Coba kunjungi satu daerah dan langkahkan kakimu dengan hati. Maka akan kau hirup atmosfernya yang berbeda.
Dan, ini kisahku tentang Jogja. Tentang kota yang paling kucinta, melebihi tanah kelahiranku sendiri.
-ooo-
“November nanti ada sekatenan di Jogja. Gue mau ke sana. Ini tuh acara yang ‘WAH’ banget pastinya,” bukan samar-samar lagi telingaku mendengar kalimat itu berbunyi. Salah seorang teman sekelasku sedang asyik merencanakan liburannya kali ini. Diam-diam, aku menguping. Nampaknya telingaku ini kelewat sensitif begitu mendengar orang menyebut Jogja. Ahh.. Kota itu.
            “Jadi, ada yang mau ikut nggak? Kita pergi dengan paket miskin saja.” tambahnya lagi. Hem, ya, paket miskin. Sebutan itu sudah menjadi ciri khas teman sekelasku itu. Namanya Galuh, dari semester satu hingga semester tiga perkuliahan, hampir seluruh kabupaten dari Jawa Barat hingga Jawa Timur sudah pernah ia singgahi. Teman-teman seangkatan juga tahu bahwa dia memang backpacker sejati. Ditambah dengan paket miskinnya itu: pulang pergi naik kereta ekonomi. Tak ada penginapan pun tak masalah, bisa tidur di masjid katanya. Terkadang aku iri padanya. Kalau tak salah ingat, jika rencana perjalanan ke Jogja ini berhasil, ini adalah kunjungan Galuh yang ketiga. Aku? Sekalipun belum pernah.
            Aku menghela napas jika teringat cita-citaku ini belum tersampaikan. Bahkan, wisata ke Jogja sudah kutulis dalam daftar resolusi tahun ini. Sebentar lagi sudah bulan November, tetapi tanda-tanda akan pergi ke sana belum juga terendus. Apakah Jogja hanya benar-benar mimpi semata?
            “Hei, kok bengong?” Rizky, pemuda bermata indah ini hampir setahun menjadi kekasihku. Sejak awal pacaran, ia sudah tahu dengan cita-cita anehku ini. Terkadang ia memberiku banyak solusi dan info-info penting jika ingin bepergian. Maklum, Rizky ini hobinya hiking. Terakhir, ia berhasil menaklukan gunung kembar Sindoro-Sumbing bersama sahabatnya saat liburan semester genap dua bulan lalu.
            “Nggak apa-apa. Aku lagi nguping sebenarnya,” jawabku pelan.
            “Nguping pembicaraan mereka?” Rizky sudah tau rupanya. “Mau ikut? Ikut saja!” ia berusaha menyemangatiku. Untuk kesekian kalinya, ragu-ragu itu datang menyelimutiku.
            Aku tersenyum. “Pengen sih... Tapi nggak diajak, hahaha!”
            “Memangnya, kalaupun mereka mengajak kamu, kamu pasti berangkat?” pertanyaan Rizky membuat senyumku surut. Aku menunduk. Jantungku berdebar-debar jika mengingat masalah terbesar yang menghambatku, mengapa sampai detik ini aku belum pernah ke Jogja.
            Aku menghela napas panjang. Masih diam belum menjawab pertanyaan Rizky. Sebab, aku pun juga tak tahu jawabannya apa. Hanya Papa dan Mama yang tahu jawabannya. Ya, hanya mereka.
-ooo-
“Coba ditanya lagi, Sa, siapa tahu kali ini diizinkan,” seru Asti. Dia teman dekatku sejak awal masuk kuliah. Setidaknya, dia yang mengerti tentang ‘aku dan Jogja’ selain Rizky.
            “Nggak mungkin, Asti. Itu tuh mustahil kalau sampai gue diizinkan pergi ke Jogja,” jawabku gelisah.
            “Nggak ada yang nggak mungkin kok, Sa, kalau lo mau usaha. Hidup ini pilihan. Lo mau bilang ke bokap lo atau nggak, itu pilihan.”
            “Tapi lo nggak ngerti watak bokap gue seperti apa, Ti. Bokap gue pasti nanya pergi ke Jogja sama siapa, tidur di mana, berapa lama, naik apa berangkat dan pulangnya. Dan yang paling menyebalkan adalah kalau bokap gue nanya ke Jogja mau apa? Penelitian? Ada dosen yang membimbing?” aku sudah lepas kontrol, tanpa sadar nada bicaraku meninggi. Aku menghela napas lagi. Kali ini bicara dengan suara pelan. “Dan gue nggak bisa bohong, Ti, kalau perjalanan ini memang murni jalan-jalan. Nggak ada penelitian dan dosen.”
            Asti tersenyum mencoba tenang. Aku tahu, dia pasti geregetan dengan kenyataan ini, denganku yang tak pernah berani bicara pada Papa untuk kesekian kalinya soal Jogja. Aku memang pengecut.
            “Sekarang begini saja. Lo bilang sama bokap lo, kita bersepuluh mau ke Jogja menyaksikan upacara sekaten. Kalau bokap lo masih nanya ada dosen atau nggak, ya bilang saja ini inisiatif mahasiswa. Sebab nunggu dosen mah kita nggak akan berangkat, Ra. Terlalu lama birokrasinya. Yang ada keburu sekaten bubar, dosen-dosen baru bilang berangkat. Ini tuh masih bagian dari penelitian jurusan kita loh. Upacara sekaten kan juga bagian dari kebudayaan,” ucap Asti panjang lebar.
            Aku terdiam, berpikir lagi. Jogja sudah membuatku kurus hampir dua semester ini. badanku kurus dimakan harapan dan mimpi-mimpi soal Jogja. Kuberikan senyum terbaikku pada Asti untuk menghargai masukannya. Mungkin memang sudah waktunya aku bertanya lagi pada Papa, setelah hampir enam bulan memendam kepedihan karena pernah tidak diizinkan pergi ke sana. Semoga kali ini keberuntungan datang menghampiriku.
-ooo-
Usai makan malam, aku mencuci piring-piring kotor di dapur. Sesekali mataku melirik ke arah ruang tengah, ada Papa sedang ngobrol dengan adik laki-lakiku soal band favorit adikku.
Sambil menyabuni piring-piring ini, aku merangkai kata-kata terbaik untuk memulai pembicaraan dengan Papa nanti. Berkali-kali dirangkai, disusun, digumamkan dalam hati. Tak ada satu kalimat pun yang pas untuk memulai percakapan malam ini. Kecuali mood Papa malam ini sedang bagus, sejelek apapun kalimatku nanti, pasti akhirnya pun akan bagus.
Selesai sudah semua piring kucuci. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu melangkah ke ruang tengah mendekati Papa. Beliau sedang nonton berita sore tentang kasus korupsi yang tak ada habisnya. Meski lulusan managemen ekonomi, akhir-akhir ini Papa bilang ia sedang tertarik dengan dunia politik.
Sekali lagi, aku menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya membuka obrolan. Jantungku berdetak cepat.
            “Pa, bulan November awal nanti, teman-teman mau pergi ke Jogja. Ada upacara sekaten di sana. Aku boleh ikut?” tak kusangka suaraku nyaris bergetar saat bicara. Bahkan saat akhirnya aku diam pun, bibirku masih bergetar. Degupan jantungku pun terpompa semakin cepat.
            “Ah ngapain sih pergi jauh-jauh. Sudah di rumah saja.” sudah kuduga pasti Papa akan jawab begitu. Belum sempat aku membalas ucapan Papa, beliau melanjutkan lagi. “Naik apa ke sana?”
            “Kereta ekonomi.” Jawabku cepat. Aku sudah mempersiapkan jawaban itu jika Papa bertanya naik apa ke sana.
            “Memangnya kamu sanggup naik kereta ekonomi?” kata Papa sambil setengah tertawa. Tertawa remeh tepatnya. “Naik kereta ekonomi tuh penuh, berdiri kalau nggak dapat tempat duduk, nggak ada AC, campur jadi satu sama pedagang-pedagang. Bisa memang kamu?”
            Nah, kalau pertanyaan Papa yang ini aku belum mempersiapkan jawabannya. Akhirnya aku hanya diam. Megarahkan pandanganku ke arah TV. Tak berani sedikitpun melihat Papa balik. Tapi dengan keberanian aku menjawab, “Kan banyak teman-teman, pasti nggak akan sesulit itu rasanya nanti,”
            “Sok tahu... Papa ini lahir lebih dulu dari kamu. Papa sudah merasakan duluan apa yang belum kamu rasakan, Nak... Papa nggak yakin kamu betah naik kereta ekonomi. Sudahlah di rumah saja!”
            Perlahan, wajahku terasa memanas. Ada yang menggenang dan mengaburkan pandanganku. Bibirku masih bergetar. Aku menahan sekuat mungkin agar tidak meneteskan air mata.
            “Papa juga pernah muda kok, Nak. Seumuran kamu sekarang ini memang lagi senangnya jalan-jalan. Tapi jalan-jalannya lupa waktu, lupa keadaan, lupa tempat, lupa tujuan. Apalagi jalan-jalan sendiri, tanpa dosen atau orang dewasa yang mengawas. Tidur juga nggak jelas di mana. Belum lagi kondisi kamu itu lemah. Capek sedikit bisa langsung sakit. Kamu itu nggak bisa pergi jauh-jauh, apalagi sendirian hanya didampingi teman-teman yang baru kenal kemarin.”
            Ucapan Papa terhenti dengan aku yang masih terdiam. Jemariku mengepal menahan ketegaran hati. Fix, aku ditolak Papa lagi untuk pergi ke Jogja. sampai hari ini aku masih tidak mengerti mengapa Papa begitu melarangku untuk pergi ke sana.
            Apa karena tak ada dosen yang membimbing perjalanan kami? Karena tujuan perjalanan kami yang tak begitu pasti? Juga karena kondisiku yang menurut Papa lemah dan gampang nge-drop? Lalu bagaimana caranya aku membuktikan pada Papa bahwa tanpa dosen pun perjalanan ini akan sangat bermanfaat bagi kuliahku nantinya? Bahwa tujuan perjalanan kami pun tidak ngawur meski tidak tertulis dalam jadwal susunan acara yang sudah dibagi-bagi waktunya? Bahwa kondisiku untuk bepergian jauh tanpa orangtua sekalipun tidak akan selemah itu?
            Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Mencoba meredakan detak jantungku. Menghentikan getaran di bibirku. Menyurutkan genangan air mata di pelupuk mataku. Tuhan, beri tahu aku, sebenarnya benteng apa yang menghalangiku menembus hati Papa? Berkali-kali aku menyetuhnya, lagi-lagi gagal.
            Dosenku pernah berkata saat aku curhat soal kebajaan hati Papa yang tak mampu kutembus. Beliau bilang bahwa mungkin Papa belum percaya padaku. Jika benar hal itu terjadi, maka sulit untukku mencairkan hati Papa. Aku disarankan untuk mengalah pada semua ucapan Papa dan jangan sekali-sekali bersikeras tetap ingin melakukan apa yang aku inginkan lalu Papa mengiyakan. Hal itu akan mustahil karena yang ada Papa justru semakin tidak akan pernah mengizinkan aku pergi ke Jogja.
            Mungkin aku harus cari cara seperti yang disarankan dosenku. Tapi apa cara itu, aku tidak pernah menemukan jawabannya. Yang kulakukan hanya bisa pasrah dan bersabar. Entahlah sampai kapan.
-ooo-
“Yah, nggak diizinkan lagi?” tanya Galuh dengan raut wajah kecewa. Begitu juga Asti dan Rizky. Serta beberapa teman lainnya yang sudah tak sabar menyambut hari keberangkatan mereka.
            Aku menebar senyum meyakinkan mereka bahwa hal ini tak membuatku begitu terpuruk. “Santai saja. Kalian berangkat saja tanpa gue. Kalau nunggu gue sih, kalian nggak akan berangkat,” kuselipkan tawa dalam kata-kataku.
            “Semangat ya, Sasa! Suatu hari pasti lo bisa ke Jogja kok!” hibur Asti.
            “Pasti. Gue yakin kok kalau suatu hari gue bisa ke sana!” ucapku mantap.
            “Kasihan banget ya, padahal sudah mahasiswa, tapi masih saja nggak dibolehkan pergi ke mana-mana.”
Sebuah kalimat terucap, entahlah datang dari mana dan terasa sangat menusuk telinga. Aku mencari sumber suara itu. “Katanya sudah mahasiswa, harusnya, sih, dibolehkan pergi ke mana-mana. Apalagi, kan, ini masih ada hubungannya sama kuliah gitu,” tambahnya lagi.
            Aku melirik sebentar ke arah seseorang yang masih sekelas denganku itu. Ia duduk tak jauh dari posisiku bersama gerombolan yang lain. “Ya.. kasihan, sih, memang, gue yang sudah segede ini masih nggak dibolehkan ke mana-mana. Bahkan pulang kuliah saja nggak boleh kelewat jam enam sore. Tapi paling nggak sih, itu tandanya gue masih ada yang memperhatikan.. Dan soal pergi ke Jogja itu kan nggak harus bulan depan. Apalagi kalau perginya ngotot minta diizinkan pergi dan tangan tinggal nerima duit orang tua seenaknya. Gue lebih kasihan sama orang yang seperti itu sebenarnya.”
            Sepertinya kalimatku barusan membuat orang itu tercekik. Lihat saja wajahnya sekarang, penuh dengan kebencian. Maklum saja, orang sirik itu pasti tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
Sepertinya temanku yang satu ini belum lama bercerita bahwa ia dilarang untuk bepergian jauh karena terlalu sering bepergian. Mungkin sudah terlalu sering minta biaya ke orangtuanya. Tapi hebatnya, begitu mengetahui Asti mengajakku pergi ke Jogja, tahu-tahu ia mengabari bahwa ia diizinkan ikut perjalanan ini.
Aku tak habis pikir, seperti apa dia merengek kepada orangtuanya agar diperbolehkan pergi? Belum lagi biaya yang akan dikeluarkan oleh orangtuanya untuk perjalanannya nanti. Ah, lagi pula buat apa dipikirkan. Orang seperti itu hanya menyulitkan dirinya sendiri. Hanya ingin dilihat yang bagus-bagusnya saja oleh orang lain. Kasihan.
“Gue kemarin beli peta Jogja loh,” ucapku senang. “Mungkin, lebih baik gue khatam baca peta ini dulu baru pergi ke sana. Sekalian nabung dulu. Jadi nggak perlu dibiayain orangtua, kan? Pasti perjalanan lebih menyenangkan,” kubentangkan senyum kebangganku pada teman-temanku yang tidak pernah bosan mendengar penolakan izin dari Papa, atau bosan mendengarkan cerita-cerita anganku soal Jogja.
            Entah kenapa celetukan teman yang tidak suka padaku tadi serasa membangkitkan semangatku untuk terus berusaha mencapai Jogja. Ya, mulai hari ini aku mencium aroma Jogja yang semakin dekat. Aku yakin, suatu hari kaki ini bisa berdiri di depan Tugu Jogja.
-ooo-
“Kamu nggak lagi merasa kalah kan, Sa, saat ini?” tanya Rizky sore itu. Kemarin malam, rombongan paket miskin sudah berangkat menuju Jogja. Dan demi aku, Rizky rela tidak ikut perjalanan itu. Padahal sudah kupaksa untuk ikut saja.
            “Kalah? Sama sekali nggak kok. Aku sedang berusaha memaklumi dan mengerti bahwa Papa pasti punya alasan kenapa aku belum diizinkan pergi ke Jogja,” aku menatap langit yang mulai senja. “Tuhan pasti nggak pernah tidur, doaku pasti selalu didengar-Nya.”
            “Jangan pernah merasa berkecil hati ya, Sa. Semua cita-cita nggak ada yang nggak jadi kenyataan kalau kita mau berusaha.”
            Aku menatap Rizky. “Terima kasih ya untuk dukungan dan dorongan semangat kamu selama ini. Berkat kamu aku percaya bahwa mimpi itu bisa jadi nyata kalau kita mempercayainya.”
            “Orang yang memiliki mimpi itu, kan, berarti dia punya harapan.”
            “Kalau orang yang nggak punya mimpi?”
            “Dia terlalu memandang realitis kalau begitu. Realitis dan pesimis itu beda tipis.”
            “Hahaha! Sok tau kamu keluar lagi tuh...” tak terasa sudah hampir satu tahun lebih aku menetapkan hatiku pada kota indah satu itu.
            “Oh iya, Sa, kabar novel kamu yang dikirim ke penerbit waktu itu belum ada kabar? Sudah tiga bulan lebih loh,” tiba-tiba Rizky mengingatkanku pada naskah yang tiga bulan lalu kukirim ke penerbit. Sebuah novel yang aku tulis sejak aku masuk kuliah. Awalnya aku berharap, semoga novel itu bisa diterima penerbit dan cita-citaku menjadi penulis tidak lagi diragukan oleh Papa. Hingga akhirnya aku mengenal Jogja dan hal itu memunculkan konflik baru antara aku dengan Papa.
            Aku menghela napas. “Memang sih kamu selalu bilang bahwa kita harus percaya setiap perjuangan itu ada hasilnya, tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi untuk mimpi yang satu ini, aku kok pesimistis yah, Riz?”
“Loh? Pesimistis kenapa?”
“Aku nggak yakin kalau novel aku ini bakal keterima penerbit... Kalau ingat yang dulu-dulu waktu berkali-kali naskahku ditolak penerbit, itu yang membuat aku jadi nggak yakin novel yang ini pun akan lolos. Aku juga nggak ngerti kenapa mau menerbitkan buku saja susah banget. Jangankan novel, kirim cerpen ke majalah-majalah saja nggak ada kepastian sampai sekarang. Bahkan, aku juga pernah punya pengalaman paling menyakitkan waktu naskahku justru hilang dan penerbit nggak bertanggung jawab untuk mencari naskah aku. Ditolak berkali-kali, naskah nggak jelas hilang ke mana, nggak ada kepastian sampai bertahun-tahun, makanya kenapa aku pesimistis dan lebih memilih untuk nggak mengharapkan saja deh.”
Rizky mengangguk-angguk seolah mengerti apa yang aku rasakan. “Tapi jangan begitulah... Kamu tetap harus percaya, Sa. Sekarang lebih baik lupakan saja naskah-naskah yang dulu itu, yang hilang dan nggak ada kabar. Yang terpenting, kita tunggu kabar dari penerbit tentang naskah yang kamu kirim tiga bulan lalu... Nggak ada yang nggak mungkin, Sa!”
Kata-kata Rizky tetap tak mengubah keyakinanku. Aku hanya bisa diam sambil bertanya-tanya, bagaimana kabar naskahku di penerbit sana. Apa mungkin sudah dalam proses pembacaan oleh editor? Atau malah belum masuk proses reading karena baru masuk dalam daftar naskah yang akan dibaca oleh editor? Atau bahkan yang lebih parah adalah naskahku justru tertumpuk di tumpukan paling bawah karena banyak naskah-naskah lain yang diajukan ke penerbit? Astagaaa.. Mau jadi penulis saja sulit sekali.
“Aduuuuh, sudah deh, Riz. Lebih baik kita pulang saja sekarang. Soal kabar dari penerbit biarkan saja lah. Yang penting sudah berusaha.” Aku memang pengecut. Nampaknya, kegagalan belum berhasil membuatku belajar dari pengalaman. Seharusnya, aku bisa lebih menghargai kegagalan. Seharusnya, aku intropeksi diri mengapa kegagalan itu bisa sampai terjadi berkali-kali. Tapi aku terlalu pengecut untuk menerima kegagalan lagi.
-ooo-
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Akan tetapi, mata ini belum mau terlelap. Meskipun sudah diusahakan untuk terpejam sejak jam sembilan.
            Malam menjelang pagi ini aku merindukannya yang belum pernah kujamah sama sekali. Hati ini begitu gelisah akibat rasa ingin yang nampaknya sulit sekali kubendung malam ini. Aku ingin sekali berada di sana, berdiri di salah satu trotoar Jalan Malioboro. Menikmati malam yang masih tetap ramah dan hangat, ditemani dendangan nyanyian para musisi jalanan. Saat perut lapar, hanya dengan berjalan kaki pun aku bisa sampai di deretan lesehan angkringan. Tinggal pilih aku ingin makan nasi kucing rasa apa. Malam menjadi semakin hangat begitu terhirup aroma susu jahe khas kota pelajar itu.
            Bosan dengan keramaian Malioboro? Itu mustahil. Seramai apapun kondisinya, suasana tetap hangat dan menyenangkan. Akan ada banyak senyum sapa yang begitu bersahabat. Atau mungkin, ingin suasana yang lebih ramai dari suasana di sepanjang jalan Malioboro? Masih ada Alun-Alun Kraton dengan sajian hiburan di sekelilingnya. Cahaya lampu berwarna-warni dari mainan-mainan yang dijual membuat Alun-Alun Kraton begitu memikat. Bahkan, kita bisa melakukan sejenis ritual kecil di Alun-Alun Kraton. Hanya dengan menutup mata dan mampu melewati dua pohon beringin yang ada di sana tanpa berbelok sedikitpun, konon katanya harapan atau keinginan yang kita ucapkan selama melakukan ritual itu akan terkabul. Penduduk sana mempercayai mitos itu.
            Tapi yang pasti, aku ingin sekali mampir ke Taman Sari lalu memotret tiap sudut keindahan tempat pemandian para selir Raja pada zaman dulu itu. Sahabatku sering kali bercerita tentang tempat itu. Membuatku semakin penasaran. Rindu ini semakin ingin tumpah saja begitu teringat dengan pantai Prangtritis yang eksotik dan fenomenal itu. Lengkap sudah yang namanya surga.
            Tanpa sadar, lamunanku membuatku terlelap kemudian. Dalam pejaman mataku, kulihat Tugu Jogja dengan cahayanya yang indah di malama hari. Aku berlari, terus berlari menghampirinya. Tapi yang kudapat, tugu itu semakin menjauh dan menghilang.
-ooo-
Sayup-sayup kudengar suara kokok ayam membangunkan tidurku. Kubuka kedua mataku perlahan. Peta Jogjakarta yang beberapa bulan lalu kubeli dengan uang jajanku sendiri, tertempel manis di dinding kamar. Benda itulah yang kulihat pertama kali begitu aku terbangun dari lelapku.
            “Hai, Jogja. Selamat pagi! Malioboro masih tetap ramai, kan, pagi ini? Aku ingin beli sampur di pasar Beringharjo, titip salam untuk penjualnya, ya!” kataku bicara sendiri, lebih tepatnya bicara pada peta.
            Aku bangkit segera keluar kamar. menuju kamar mandi dan mencuci muka, serta menyikat gigi. Begitu keluar dari kamar mandi, kulihat Papa sedang membaca koran di ruang makan.
            “Sudah bangun?” sapa Papa pagi itu. Aku berjalan mendekati meja makan dan menyambar segelas susu yang sudah disiapkan Mama untukku.
            “Sudah..”
            “Jadi, mau naik apa nanti ke Jogja? Jangan lupa makan tepat waktu, istirahat yang cukup. Berkeliling boleh saja, tapi tetap jaga kondisi tubuh. Menginap di mana nanti?”
            Aku terdiam. Sungguh, ucapan Papa barusan membuatku bingung. Maksudnya apa?
            “Menginap? Menginap di mana bagaimana? Naik apa ke Jogja bagaimana maksudnya?”
            “Loh, kok kamu malah nanya balik pada Papa? Kamu mau berangkat ke Jogja, kan?”
            “Hah? Jogja?” kebingunganku semakin bergejolak. Apa mimpiku masih berlangsung dan sebenarnya aku belum bangun dari tidurku?
            “Kamu belum baca surat beramplop coklat di ruang tamu itu, ya? Papa baca itu soalnya, Papa pikir kamu sudah tau..”
            “Surat? Amplop coklat yang mana?” penasaran, aku segera ke ruang tamu. Ada amplop coklat di meja dengan kondisi sudah terbuka lemnya. Mungkin karena dibaca oleh Mama yang menerima, lalu Papa barusan. Aku merogoh kertas di dalam amplop dan mengeluarkannya. Tak sabar aku ingin membaca apa isi surat itu.

Yth. Raisa Zafira Prameswari
di Jakarta

Dengan hormat,
            Sehubungan dengan naskah Anda yang berjudul “Ada Cinta di Jogjakarta”, kami informasikan bahwa kami tertarik untuk menerbitkan naskah tersebut. Mohon segera mengirimkan naskah dalam bentuk softcopy untuk kelanjutan penerbitan, kami tunggu hingga tanggal 31 Januari 2012.
            Dengan ini pula kami informasikan bahwa sehubungan dengan terbitnya naskah Anda, kami mengundang Anda dalam acara launching buku di salah satu toko buku di Jogjakarta. Waktu dan lokasi akan kami hubungi lebih lanjut.
            Atas perhatian dan kerja sama Anda, kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Editor Fiksi Penerbit Violet

            Aku terduduk lemas di sofa ruang tamu. Sebuah titik basah menghiasi surat yang masih dengan erat ku genggam. Air mata bahagiaku menetes. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi selain menangis sambil tertawa. Memeluk surat sekencang-kencangnya. Aku bahkan masih tak menyangka bahwa ini benar-benar nyata.
            Aku masih ingat betul bagaimana waktu itu aku berkata pada Rizky bahwa aku begitu pesmistis novel ini akan diterbitkan. Tapi hari ini, ketidakyakinanku terjawab sudah. Aku merasa sangat bodoh karena harus setengah-setengah dalam mepercayai mimpi-mimpiku. Tuhan bahkan tidak marah ketika aku tidak lagi mau berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku memang bisa, aku memang berkualitas. Tuhan masih memberikan hadiah terindah untukku pagi ini.
            Aku membaca sekali lagi surat itu. Bahkan berkali-kali. Isinya masih sama dan tak berubah sedikitpun. Sebentar lagi aku akan jadi penulis. Karyaku akan dipajang di rak-rak toko buku di seluruh Indonesia. Mungkin akan diletakkan di rak ‘buku laris’ beberapa toko buku. Amin, ya Tuhan... Amin.
            Setelah menjadi penulis, akan ada banyak orang yang mengenalku. Mungkin mengidolakan karyaku. Berbondong-bondong duduk di barisan kursi depan untuk menyaksikan talkshow seputar novelku. Rela mengantri dan bersabar menunggu giliran bertatap wajah denganku, meminta tandatanganku. Ahhh... Mungkinkah suatu hari aku akan merasakan itu semua?
            Tunggu, sepertinya ada yang lebih penting dari sekedar novelku diterima oleh penerbit. Kubaca lagi surat itu. Apa? Jogja? Apa aku tidak salah baca? Atau semua ini hanya mimpi yang begitu aku terbangun, aku masih tetap aku yang dengan mimpi-mimpinya. Bukan aku yang naskahnya akan diterbitkan dan akan pergi ke Jogja karena bukunya.
            “Ya Allah... Jogja?” tanyaku pada diriku sendiri. “Ini nggak bohong kan?”
            “Jadi bagaimana? Mau naik apa ke Jogja? Papa sarankan sih Argo saja yang nyaman dan cepat sampai. Oh ya, itu tanggal berapa? Izin kuliah beberapa hari juga tidak masalah kok. Yang penting selama di sana kamu jelas bepergian dengan siapa, menginap di mana, jangan lupa untuk makan tepat waktu dan istirahat yang cukup.”
            Ucapan Papa yang panjang lebar belum juga membuatku sadar seratus persen. Aku benar-benar takut jika semua ini hanya mimpi, bunga tidur. Tidak akan pernah menjadi kenyataan.
            “Ini.. nggak mimpi kan, Pa?” tanyaku pada Papa. beliau justru menatapku heran.
            “Mimpi apa? Kamu masih tidur ya menyangka ini mimpi?”
            “Jadi, ini benar-benar nyata?”
            “Iya, Nak...”
Kupeluk Papa kuat-kuat. Aku menangis sejadi-jadinya. Melepas semua tangisan yang pernah tertahan hanya karena ingin dianggap anak kuat oleh Papa. Kulepas semua deru air mataku yang mengalir tanpa perlu menahan isak seperti dulu, hanya karena supaya tidak dianggap anak cengeng oleh Papa.
“Teruslah berkarya, jangan cepat merasa puas dengan keberhasilanmu saat ini. Ini semua baru permulaan, Nak. Di depan sana, masih banyak rintangan yang harus kamu hadapi. Kamu harus bisa menargetkan dirimu sendiri untuk masa depanmu. Meskipun mimpimu sudah tercapai, jangan pernah hidup tanpa punya mimpi. Teruslah bermimpi dan teruslah berusaha untuk mewujudkannya...”
            Pasti, Pa.. Pasti! Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi selain menjawab semua ucapan Papa lewat suara hati. Yang terdengar saat ini hanya isak tangis bahagiaku dalam pelukan Papa.
Terima kasih Papa atas semua kasih sayangmu, bimbinganmu, nasihatmu, semua hal yang telah Papa ajarkan padaku. Tentang kemandirian, keberanian, ketegaran, dan tentang cita-cita... Tanpamu, aku hanya seorang anak yang tak punya mimpi, yang tak mengerti bagaimana caranya berusaha dan berjuang demi cita-cita. Terima kasih, Papa. Aku sayang Papa.
-ooo-
Hai, Jogja. Apa kabar? Aku harap kamu masih tetap istimewa. Tetap menjadi yang terindah dalam hatiku. Tetap menjadi yang nomor satu dalam perjuangan hidupku.
            Sebentar lagi, kita akan bertemu, Jogja. Setelah sekian lama aku menantikan saat-saat seperti ini, akhirnya sebentar lagi kedua kakiku akan menyentuh bumi Jogja. Penciumanku yang peka akan aromamu, sebentar lagi akan benar-benar nyata menghirup wangi keramahanmu. Jogja... Aku akan memelukmu sebentar lagi. Untukmu Jogja, kupersembahkan semua perjuangan yang telah aku lewati hingga hari ini, semua doa yang tak henti kupanjatkan pada Tuhan hingga hari ini.
            Tunggu aku, Jogja. Sebentar lagi, kita akan berjumpa. Semoga saat kita bertatap, senyummu masih tetap sama.
            “Sa, siap-siap ya, sebentar lagi kita sampai!” kata Rizky membuyarkan lamunanku. Papa tidak bisa ikut denganku ke Jogja karena pekerjaan di kantor yang tidak mungkin ditinggal untuk tiga hari ke depan. Sebagai gantinya, Papa meminta tolong Rizky untuk mendampingiku. Keberangkatanku semakin terasa membahagiakan karena teman-temanku sempat mengantar hingga stasiun Senen tadi malam.
            “Deg-deg-an?” tanya Rizky.
            “Iya,” aku mengangguk. Perlahan Rizky mengenggam tanganku. Aku balas mengenggamnya lebih erat.
            “Dingin banget tangan kamu,”
            Nervous,”
            “Jogja kan ramah, tidak perlu takut dia tidak akan mau menerimamu. Kedatangan kamu pasti dengan sangat terbuka diterimanya,” ucapan Rizky berhasil membuatku tersentuh. Hampir saja aku menangis terharu dibuatnya. “Sampai Jogja, apa yang ingin pertama kali kamu lakukan?”
            “Foto dengan plang Jalan Malioboro,” senyumku mengembang disusul dengan senyuman Rizky. Kupeluk lengannya erat-erat mencoba membagi kebahagiaan ini padanya.
            Papa, sebentar lagi aku tiba di Jogja. Doamu dikabulkan oleh Tuhan karena aku sampai Jogja dengan selamat. Terima kasih, Papa, atas doamu yang tak pernah berhenti untukku.
            Kereta memasuki peron stasiun Tugu Jogja. Lewat jendela kereta, untuk pertama kalinya aku melihat tempat yang tak pernah kulihat sebelumnya.  “Bismillahirrahmanirrahim...” aku keluar dari kereta dan menghirup udara Jogja, untuk pertama kalinya. Tanpa sadar, aku menitikkan air mataku karena kakiku akhirnya menapak di atas tanah Jogja. Bahkan aku belum mampu melangkah lagi. Aku justru memilih untuk bersujud sebagai rasa syukurku atas semua keberkahan yang tak hentinya Tuhan berikan padaku.
            Terima kasih, Tuhan... Terima kasih. Kali ini Kau telah membuktikan bahwa mimpi bukan hanya sekedar mimpi. Cita-cita bukan hanya sekedar cita-cita. Dan Jogja bukan hanya sekedar Jogja. Kini aku benar-benar bersyukur, Tuhan. Sebab berkatMu, aku mampu mewujudkan mimpi-mimpiku. Dan Jogja, yang sedari awal kupercaya hanya sebuah mimpi, itu memang benar Tuhan.
            Jogja hanya mimpi. Mimpi yang dapat kuwujudkan dengan perjuanganku sendiri. Mimpi yang kupercaya memang bisa tercapai. Mimpi yang berkatMu, semua ini menjadi sangat teristimewa.
            “Terima kasih, Rizky...” ucapku pada Rizky yang berusaha membantuku bangkit dari sujudku.
            “Terima kasih untuk apa?”
            “Untuk semuanya. Untuk mimpi yang memang seharusnya kita percaya.”
            Rizky tersenyum. “Sama-sama, Sa. Aku bahagia kalau kamu bahagia. Ayo bangun! Jogja sudah menantimu,”
            Di depan sana, sepanjang mataku jauh memandang, ada petualangan seru yang akan segera dimulai. Ada ribuan perjalanan yang akan terlampaui dengan cita-cita dan mimpi-mimpi baru. Jogja, aku datang...

-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar