28 Oktober 2013

Kantin Sastra


Matahari cukup terik ketika kulirik jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Kuputuskan untuk membelokkan langah kakiku menuju kantin. Orang-orang menyebutnya Kansas, singkatan dari Kantin Sastra.

Kansas sudah berdiri sejak aku kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Bahkan, sudah berdiri jauh sebelum aku diterima menjadi mahasiswa UI. Pertama kali aku melihat Kansas, bentuknya hampir mirip seperti gubuk. Tak kusangka ada juga banyak dosen yang menyebut Kansas seperti kandang sapi. Dari luar, Kansas memang terlihat menyedihkan dan kurang meyakinkan. Tetapi, bagi sebagian orang yang betah di sana, mereka menganggap Kansas sebagai rumah kedua mereka.

Kini, aku terduduk di salah satu kursi kosong ditemani dengan segelas Capucinno yang baru saja kubeli. Sekilas, Kansas yang sekarang jauh berbeda dengan Kansas tiga tahun yang lalu. Atap Kansas tidak lagi terbuat dari jerami, kondisinya jauh lebih baik sekarang. Kursi-kursi dan mejanya tidak lagi berwarna merah-kuning-hijau-biru, semuanya berwarna putih. Sekarang siapa saja bisa duduk di mana saja. Tidak seperti dulu, setiap jurusan memiliki wilayahnya sendiri sesuai dengan warna kursi.

“Aku tunggu di Kansas,” kukirim sebuah pesan singkat ke nomor ponsel sahabatku. Aku janjian dengan sahabatku di kampus. Sepertinya ia masih les bahasa Jepang di LBI. Kuputuskan untuk menunggu.

Capucinnoku mulai berkurang sedikit demi sedikit. Hawa Kansas sangat panas jika siang-siang seperti ini. Tapi anehnya, banyak orang yang betah makan siang sambil kipas-kipas atau sibuk mengelap keringat yang terus mengalir. Dua kipas angin yang terpasang di atap Kansas semakin tidak berguna. Buang-buang listrik.

Kansas terlihat lebih sepi pada hari Sabtu dibandingkan hari kuliah seperti hari Senin hingga Jumat. Pada kelima hari itu, kursi Kansas jauh lebih penuh diduduki. Bahkan terbilang sangat padat. Semua orang menuju satu titik untuk menyumpal caing-cacing di perut mereka sedangkan waktu yang mereka punya untuk makan siang tidak banyak. Tidak ada jalan lain, hanya Kansas tempat makan yang paling dekat dan terjangkau. Meskipun harus makan dalam kondisi terburu-buru, kursi yang terbatas, banyak piring kotor di meja-meja yang baru saja ditinggalkan oleh penghuni setia Kansas, dan puluhan lalat ikut meramaikan.

Tak peduli hari ini hari apa, Kansas tetap panas dan berlalat. Beberapa kursi kosong tak berpenghuni. Hanya ada sekitar 5 meja yang terisi oleh sekelompok mahasiswa. Aku duduk di salah satu sisi Kansas yang menghadap ke arah taman pohon Kamboja. Sekilas dari kejauhan, kursi dan meja Kansas memang dicat putih. Jika dilihat lebih dekat, warnanya justru terbilang mendekati abu-abu. Coretan di mana-mana. Bahkan ada juga gambar-gambar ilustrasi di sana.

Beberapa mahasiswa berbondong-bondong mulai memasuki Kansas dari arah taman pohon Kamboja. Sepertinya para peserta kelas LBI baru saja usai kelas. Kansas pun mulai ramai. Di belakang saya, duduklah segerombol mahasiswi dengan obrolan yang cukup mengasyikkan. Sebab suara mereka hampir mendominasi di Kansas. Meskipun musik koplo dari warung satai di sudut sebelah kiri dari aku duduk, masih jauh lebih keras berkumandang. Di hadapanku, ada beberapa pria-pria yang duduk sendirian di meja yang berbeda. Mereka menyantap makan siang mereka dengan tatapan kesepian, berharap ada seorang teman mengajaknya makan siang sambil berbincang-bincang.

Tiba-tiba suara cicit burung mengalihkan pandanganku. Sekelebat beberapa burung gereja tampak mondar mandir terbang menyebrangi Kansas. Beberapa penjual makanan juga seliweran ke sana kemari untuk mengantarkan pesanan. Di hari Sabtu begini, Mas Roni, penjual ayam penyet yang paling terkenal di Kansas, masih sibuk menyiapkan pesanan. Ayam penyetnya selalu laku. Tidak jauh dari warung Mas Roni, terdapat dua orang pria sedang beradu kepintaran di atas papan catur.

Aku semakin tidak tahan dengan hawa panas yang meyerangku. Juga para lalat yang sejak tadi mampir mendarat di mejaku. Selain itu, kutatap pula seekor kucing yang berhasil naik ke meja untuk menghabiskan sisa-sisa makanan dan beberapa remahan di sekelilingnya. Kesal karena tak punya kipas, kukibas-kibaskan tanganku demi mendapatkan sebuah angin. Tetapi hasilnya, nihil. Atap Kansas yang mengerucut sepertinya tidak berfungsi dengan baik, udara yang masuk seakan-akan terperangkap dan tidak bisa keluar.

Kuputuskan untuk menghabiskan Capucinnoku yang tinggal sedikit. Sejak tadi aku mencari-cari, tetapi sahabatku belum juga muncul di Kansas. Jangan-jangan pesan singkatku tadi belum dibacanya dan ia meninggalkanku di sini. Baru saja aku akan menelponnya, ia lebih dulu menghubungiku.

“Halo, Ra,” serunya di seberang.

“Halo, Ti, di mana? Masih kelas?” tanyaku tak sabar.

“Aku baru baca SMS-mu. Maaf, Ra, aku lupa memberitahumu bahwa aku tidak ke kampus hari ini. Lesku libur dan sekarang aku masih di kosan, baru bangun.”

Kudengar tawa renyah cekikikan di seberang sana. Geram sekali rasanya dibiarkan menunggu di tengah hawa panas seperti ini dan tidak menghasilkan apa-apa. Tanpa membalas ucapan sahabatku tadi, aku langsung memutus telepon.

“Awas saja kamu, akan aku guyur kamu nanti setibanya aku di kosanmu!” ancamku dalam hati. Segeralah dengan kesal, aku bergegas menuju kosan sahabatku.

-------------------------------
Depok, 29 September 2013
Ditulis dalam rangka tugas mata kuliah Penulisan Populer di FIB UI mengenai Deskripsi Tempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar