28 Oktober 2013

Ruang 9303


            Sejujurnya, aku tidak suka dingin. Seperti saat ini, aku duduk di kursi kelas tepat di bawah pendingin ruangan dengan suhu sekitar 25 hingga 24 derajat celcius. Bagi orang lain, mungkin suhu itu tidak terlalu dingin. Akan tetapi, duduk di bawah pendingin ruangan seperti ini bukan hal yang bagus bagiku.
            Beberapa kali kulirik jam tangan di tangan kiriku. Detaknya belum beranjak melewati angka 1. Kualihkan tatapanku ke arah depan. Pak Sunu masih betah dengan posisinya, bersandar di pinggiran meja, berceramah memberikan perkuliahan. Sesekali beliau menyisipkan lelucon-lelucon untuk mencairkan suasana kelas agar tidak membosankan. Penampilan beliau tidak jauh berbeda dengan minggu lalu, masih setia dengan setelan kemeja garis-garis dan bercelana longgar. Kali ini, celananya berwarna hijau army. Rambutnya sedikit beruban dan beliau terbilang santai dalam mengajar.
            Di tengah perkuliahan yang mulai membuatku gelisah akan tanda tanya kapan jarum jam berpindah ke angka 1, kulihat Pak Sunu masih semangat bercerita tantang dunia sastra dan tulis menulis. Sesekali beliau menyeruput air mineral di atas meja, pasti tenggorakan beliau kering juga bicara panjang lebar selama hampir dua jam. Meja pengajar diisi oleh buku-buku yang dibawa oleh Pak Sunu. Sangat mengherankan, saat masuk kelas tadi, beliau menggendong ransel yang hampir mirip tas orang naik gunung. Akan tetapi, tangannya masih sibuk membawa buku-buku berhalaman sekitar 100-150 halaman. Mungkin beliau akan terlihat lebih baik jika membawa para jendela dunia itu dengan tangannya sendiri, bukan disimpan di dalam ransel.
            Kudengar tawa membahana memenuhi atsmorfer ruang 9303. Rupanya aku ketinggalan kalimat-kalimat lucu mengundang tawa yang diucapkan Pak Sunu. Kutengok ke barisan kursi di sisi kiri dari tempat kududuk. Kursi nyaris terisi penuh oleh mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir. Beberapa di antaranya adalah teman satu jurusanku. Beberapa lainnya, ada yang kukenal dan asing di mataku. Salah satunya di pojok belakang, aku kenal siapa yang duduk di sana. Namanya Tito, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah yang pernah satu kelas di kelas MPKT saat semester satu. Tak terasa sudah tiga tahun masa itu berlalu. Tito juga pasti lupa bahkan sama sekali tidak tahu siapa aku. Baru kusadari, hampir semua kursi di deretan baris belakang terisi oleh pria-pria bersuara besar.
            Sebetulanya, perkuliahan ini tidaklah membosankan. Aku sangat menantikan kelas Penulisan Populer dibuka di setiap semester. Aku cinta menulis, apalagi kisah cinta. Hanya saja, ruang kelasnya yang tidak menyenangkan. Selain karena pendingin ruangannya, juga karena kelas ini berada di lantai 3. Satu lagi, aku benci terlambat sampai di kelas. Kebencianku akan semakin bertambah jika sudah terlambat, aku harus berlari menaiki tangga ke lantai tiga. Betapa semangatnya menjadi mahasiswa, bukan? Seandainya aku boleh mengganti cat tembok kelas yang berwarna kuning kusam ini dengan warna biru muda atau hijau muda, agaknya lebih menyenangkan dan memberikan efek segar dalam berkuliah. Ah sialnya, kondisi langit-langit di bagian sudut depan ruang kelas memperburuk kenyamanan belajar di sini. Warnanya bukan lagi putih bersih, tetapi coklat bergaris-garis. Warna itu pasti ditimbulkan oleh rembesan air hujan yang masuk lewat atap yang bocor. Akan sangat bahaya jika kondisi itu dibiarkan saat hujan. Sebab di dinding yang sejajar dengan atap rusak itu, terdapat kabel-kabel panjang dan berantakan.
            Pak Sunu jarang menggunakan LCD saat berkuliah. Tetapi hari ini, ia juga belum menggunakan spidol untuk membagi ilmunya di papan tulis. Papan berukuran hampir tiga per empat dinding masih putih bersih. Penghapus papan tulis pun masih tenang bersandar di tempatnya. Pintu kelas beberapa kali dibuka dan ditutup oleh Pak Sunu untuk mencontohkan sebuah cerpen yang beliau bacakan. Sungguh, kuliah di kelas ini haruslah ekspresif. Itu menurutku. 23 orang mahasiswa tampak serius mengamati setiap pergerakan yang dicontohkan beliau. Di sebelah kananku, seorang mahasiswa beberapa kali mengadu bahwa ia mengantuk. Sementara yang di sebelah kiriku, sibuk bolak-balik bertanya jam berapa sekarang. Menurutku, kelas ini asyik dan menyenangkan, mengapa kedua mahasiswa di kedua sisiku merasa kuliah ini membosankan bagi mereka.
            Jika dipikir-pikir lagi, memang akan sangat membosankan bagi yang tidak suka menulis. Tidak ada salahnya jika aku melihat jam untuk mengecek apakah kelas ini sudah seharusnya selesai atau belum. Lagi-lagi, ruang ini bahkan tidak memiliki jam dinding. Di dinding, justru hanya ada 2 lembar kertas berukuran A4 ditempel di sebelah kiri papan tulis. Satu lembar berisi tentang larangan mengaktifkan ponsel dan satunya lagi berisi tentang larangan plagiarisme.
            “Kumpulkan tugas hari Jumat, hari Senin akan kita bahas di kelas. Selamat siang dan terima kasih.”

            Suara Pak Sunu cukup menyadarkanku dari lamunan. Rupanya kelas telah diakhiri dengan tugas yang harus dikumpulkan hari Jumat. Minggu depan, tugas itu akan dibahas bersama-sama di kelas. Oh, aku sangat menantikan menit-menit untuk mengerjakan tugas itu di rumah sesegera mungkin. Minggu depan, semoga yang kukerjakan tidak mengecewakan Pak Sunu saat membacanya.

---------------------------------------------
Depok, 19 September 2013
Ditulis dalam rangka tugas pertama mata kuliah Penulisan Populer di FIB UI mengenai Deskripsi Ruang.

2 komentar:

  1. Kak.. coba ceritakan pengalamannya di kelas penulisan populer doong

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru! *Saya nulis komen sambil nginget-nginget jaman kuliah Penpop dulu* xD
      Dari awal masuk kuliah memang udah ngincer mata kuliah ini. Soalnya saya gagal diterima di jurusan Sastra Indonesia UI. Jadi mata kuliah yg mendekati biar ngerasain ilmunya anak Sastra Indonesia ya kelas Penulisan Populer ini hehehe.
      Apalagi saya suka nulis cerpen dsb. Cocok banget.
      Aku sarankan pilih kelasnya Pak Sunu ya, kalau beliau masih ngajar. Kuliah Penpop seru deh pokoknya, bisa nulis apa aja nggak perlu takut salah :D

      Hapus