Jogja itu mimpi.
Kau punya cita-cita? Tentu saja, semua orang pasti
memiliki cita-cita. Sebuah keinginan yang di dalamnya terselip harapan, usaha, dan
doa. Kau percaya cita-citamu akan terwujud? Jika ada keyakinan dalam hatimu,
apapun cita-citamu pasti jadi nyata.
Banyak orang bercita-cita ingin jadi ini, ingin
jadi itu. Cita-cita setiap orang memang berbeda. Seperti aku. Salah satu dari
cita-cita terbesarku adalah aku ingin ke Jogja. Salah satu kota dengan
keindahan yang khas, hanya di Indonesia.
Semuanya pun terasa tidak jelas saat aku memikirkan
sejak kapan cita-cita aneh ini muncul dalam otakku. Kemudian merambat ke
hatiku. Sehingga tekad itu ada, aku ingin ke sana, ke Jogja.
Mungkin semua alasan berawal dari sahabatku yang
akhirnya memutuskan untuk kuliah di kota pelajar itu. Bisa juga karena kakak
sepupuku yang akhirnya memiliki kekasih yang masih memiliki hubungan keluarga
dengan Kraton Jogja. Mungkin juga karena lingkungan pergaulanku di kampus, yang
nyatanya teman-temanku sudah pernah mencicipi nasi kucing khas angkringan
Jogja, mampir sekedar foto-foto di Taman Sari Jogja, atau keliling Jogja naik
TransJogja.
Angan-angan tentang Jogja semakin lama semakin
bergelut dalam pikiranku. Menggelisahkan tidur malamku. Setiap hari, rasanya aroma
Jogja begitu semerbak menjejal penciumanku. Wangi Malioboro.. Ahh.. Tahukah kau
bahwa setiap daerah itu memiliki aroma yang khas dan berbeda-beda? Kau tidak
percaya? Coba kunjungi satu daerah dan langkahkan kakimu dengan hati. Maka akan
kau hirup atmosfernya yang berbeda.
Dan, ini kisahku tentang Jogja. Tentang kota yang
paling kucinta, melebihi tanah kelahiranku sendiri.
-ooo-
“November nanti ada sekatenan
di Jogja. Gue mau ke sana. Ini tuh acara yang ‘WAH’ banget pastinya,” bukan
samar-samar lagi telingaku mendengar kalimat itu berbunyi. Salah seorang teman
sekelasku sedang asyik merencanakan liburannya kali ini. Diam-diam, aku
menguping. Nampaknya telingaku ini kelewat sensitif begitu mendengar orang
menyebut Jogja. Ahh.. Kota itu.
“Jadi, ada yang mau
ikut nggak? Kita pergi dengan paket miskin saja.” tambahnya lagi. Hem, ya,
paket miskin. Sebutan itu sudah menjadi ciri khas teman sekelasku itu. Namanya
Galuh, dari semester satu hingga semester tiga perkuliahan, hampir seluruh
kabupaten dari Jawa Barat hingga Jawa Timur sudah pernah ia singgahi.
Teman-teman seangkatan juga tahu bahwa dia memang backpacker sejati. Ditambah dengan paket miskinnya itu: pulang
pergi naik kereta ekonomi. Tak ada penginapan pun tak masalah, bisa tidur di
masjid katanya. Terkadang aku iri padanya. Kalau tak salah ingat, jika rencana
perjalanan ke Jogja ini berhasil, ini adalah kunjungan Galuh yang ketiga. Aku?
Sekalipun belum pernah.
Aku menghela napas
jika teringat cita-citaku ini belum tersampaikan. Bahkan, wisata ke Jogja sudah
kutulis dalam daftar resolusi tahun ini. Sebentar lagi sudah bulan November,
tetapi tanda-tanda akan pergi ke sana belum juga terendus. Apakah Jogja hanya
benar-benar mimpi semata?
“Hei, kok bengong?”
Rizky, pemuda bermata indah ini hampir setahun menjadi kekasihku. Sejak awal
pacaran, ia sudah tahu dengan cita-cita anehku ini. Terkadang ia memberiku
banyak solusi dan info-info penting jika ingin bepergian. Maklum, Rizky ini
hobinya hiking. Terakhir, ia berhasil
menaklukan gunung kembar Sindoro-Sumbing bersama sahabatnya saat liburan
semester genap dua bulan lalu.
“Nggak apa-apa. Aku
lagi nguping sebenarnya,” jawabku pelan.
“Nguping pembicaraan
mereka?” Rizky sudah tau rupanya. “Mau ikut? Ikut saja!” ia berusaha
menyemangatiku. Untuk kesekian kalinya, ragu-ragu itu datang menyelimutiku.
Aku tersenyum.
“Pengen sih... Tapi nggak diajak, hahaha!”
“Memangnya, kalaupun
mereka mengajak kamu, kamu pasti berangkat?” pertanyaan Rizky membuat senyumku
surut. Aku menunduk. Jantungku berdebar-debar jika mengingat masalah terbesar
yang menghambatku, mengapa sampai detik ini aku belum pernah ke Jogja.
Aku menghela napas
panjang. Masih diam belum menjawab pertanyaan Rizky. Sebab, aku pun juga tak
tahu jawabannya apa. Hanya Papa dan Mama yang tahu jawabannya. Ya, hanya
mereka.
-ooo-
“Coba ditanya lagi, Sa, siapa tahu kali ini diizinkan,” seru Asti. Dia
teman dekatku sejak awal masuk kuliah. Setidaknya, dia yang mengerti tentang
‘aku dan Jogja’ selain Rizky.
“Nggak mungkin, Asti.
Itu tuh mustahil kalau sampai gue diizinkan pergi ke Jogja,” jawabku gelisah.
“Nggak ada yang nggak
mungkin kok, Sa, kalau lo mau usaha. Hidup ini pilihan. Lo mau bilang ke bokap
lo atau nggak, itu pilihan.”
“Tapi lo nggak ngerti
watak bokap gue seperti apa, Ti. Bokap gue pasti nanya pergi ke Jogja sama
siapa, tidur di mana, berapa lama, naik apa berangkat dan pulangnya. Dan yang
paling menyebalkan adalah kalau bokap gue nanya ke Jogja mau apa? Penelitian?
Ada dosen yang membimbing?” aku sudah lepas kontrol, tanpa sadar nada bicaraku
meninggi. Aku menghela napas lagi. Kali ini bicara dengan suara pelan. “Dan gue
nggak bisa bohong, Ti, kalau perjalanan ini memang murni jalan-jalan. Nggak ada
penelitian dan dosen.”
Asti tersenyum
mencoba tenang. Aku tahu, dia pasti geregetan dengan kenyataan ini, denganku
yang tak pernah berani bicara pada Papa untuk kesekian kalinya soal Jogja. Aku
memang pengecut.
“Sekarang begini
saja. Lo bilang sama bokap lo, kita bersepuluh mau ke Jogja menyaksikan upacara
sekaten. Kalau bokap lo masih nanya
ada dosen atau nggak, ya bilang saja ini inisiatif mahasiswa. Sebab nunggu
dosen mah kita nggak akan berangkat, Ra. Terlalu lama birokrasinya. Yang ada
keburu sekaten bubar, dosen-dosen
baru bilang berangkat. Ini tuh masih bagian dari penelitian jurusan kita loh.
Upacara sekaten kan juga bagian dari
kebudayaan,” ucap Asti panjang lebar.
Aku terdiam, berpikir
lagi. Jogja sudah membuatku kurus hampir dua semester ini. badanku kurus
dimakan harapan dan mimpi-mimpi soal Jogja. Kuberikan senyum terbaikku pada
Asti untuk menghargai masukannya. Mungkin memang sudah waktunya aku bertanya
lagi pada Papa, setelah hampir enam bulan memendam kepedihan karena pernah
tidak diizinkan pergi ke sana. Semoga kali ini keberuntungan datang
menghampiriku.
-ooo-
Usai makan malam, aku mencuci piring-piring kotor di dapur. Sesekali
mataku melirik ke arah ruang tengah, ada Papa sedang ngobrol dengan adik
laki-lakiku soal band favorit adikku.
Sambil menyabuni piring-piring ini, aku merangkai
kata-kata terbaik untuk memulai pembicaraan dengan Papa nanti. Berkali-kali
dirangkai, disusun, digumamkan dalam hati. Tak ada satu kalimat pun yang pas
untuk memulai percakapan malam ini. Kecuali mood
Papa malam ini sedang bagus, sejelek apapun kalimatku nanti, pasti akhirnya pun
akan bagus.
Selesai sudah semua piring kucuci. Aku menarik
napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah itu melangkah ke ruang
tengah mendekati Papa. Beliau sedang nonton berita sore tentang kasus korupsi
yang tak ada habisnya. Meski lulusan managemen ekonomi, akhir-akhir ini Papa
bilang ia sedang tertarik dengan dunia politik.
Sekali lagi, aku menghembuskan nafas perlahan
sebelum akhirnya membuka obrolan. Jantungku berdetak cepat.
“Pa, bulan November
awal nanti, teman-teman mau pergi ke Jogja. Ada upacara sekaten di sana. Aku boleh ikut?” tak kusangka suaraku nyaris
bergetar saat bicara. Bahkan saat akhirnya aku diam pun, bibirku masih
bergetar. Degupan jantungku pun terpompa semakin cepat.
“Ah ngapain sih pergi
jauh-jauh. Sudah di rumah saja.” sudah kuduga pasti Papa akan jawab begitu.
Belum sempat aku membalas ucapan Papa, beliau melanjutkan lagi. “Naik apa ke
sana?”
“Kereta ekonomi.”
Jawabku cepat. Aku sudah mempersiapkan jawaban itu jika Papa bertanya naik apa
ke sana.
“Memangnya kamu
sanggup naik kereta ekonomi?” kata Papa sambil setengah tertawa. Tertawa remeh
tepatnya. “Naik kereta ekonomi tuh penuh, berdiri kalau nggak dapat tempat
duduk, nggak ada AC, campur jadi satu sama pedagang-pedagang. Bisa memang
kamu?”
Nah, kalau pertanyaan
Papa yang ini aku belum mempersiapkan jawabannya. Akhirnya aku hanya diam.
Megarahkan pandanganku ke arah TV. Tak berani sedikitpun melihat Papa balik.
Tapi dengan keberanian aku menjawab, “Kan banyak teman-teman, pasti nggak akan
sesulit itu rasanya nanti,”
“Sok tahu... Papa ini
lahir lebih dulu dari kamu. Papa sudah merasakan duluan apa yang belum kamu
rasakan, Nak... Papa nggak yakin kamu betah naik kereta ekonomi. Sudahlah di
rumah saja!”
Perlahan, wajahku
terasa memanas. Ada yang menggenang dan mengaburkan pandanganku. Bibirku masih
bergetar. Aku menahan sekuat mungkin agar tidak meneteskan air mata.
“Papa juga pernah
muda kok, Nak. Seumuran kamu sekarang ini memang lagi senangnya jalan-jalan.
Tapi jalan-jalannya lupa waktu, lupa keadaan, lupa tempat, lupa tujuan. Apalagi
jalan-jalan sendiri, tanpa dosen atau orang dewasa yang mengawas. Tidur juga
nggak jelas di mana. Belum lagi kondisi kamu itu lemah. Capek sedikit bisa
langsung sakit. Kamu itu nggak bisa pergi jauh-jauh, apalagi sendirian hanya
didampingi teman-teman yang baru kenal kemarin.”
Ucapan Papa terhenti dengan
aku yang masih terdiam. Jemariku mengepal menahan ketegaran hati. Fix, aku ditolak Papa lagi untuk pergi
ke Jogja. sampai hari ini aku masih tidak mengerti mengapa Papa begitu melarangku
untuk pergi ke sana.
Apa karena tak ada
dosen yang membimbing perjalanan kami? Karena tujuan perjalanan kami yang tak
begitu pasti? Juga karena kondisiku yang menurut Papa lemah dan gampang nge-drop? Lalu bagaimana caranya aku
membuktikan pada Papa bahwa tanpa dosen pun perjalanan ini akan sangat
bermanfaat bagi kuliahku nantinya? Bahwa tujuan perjalanan kami pun tidak
ngawur meski tidak tertulis dalam jadwal susunan acara yang sudah dibagi-bagi
waktunya? Bahwa kondisiku untuk bepergian jauh tanpa orangtua sekalipun tidak
akan selemah itu?
Aku menarik napas dan
menghembuskannya perlahan. Mencoba meredakan detak jantungku. Menghentikan
getaran di bibirku. Menyurutkan genangan air mata di pelupuk mataku. Tuhan,
beri tahu aku, sebenarnya benteng apa yang menghalangiku menembus hati Papa?
Berkali-kali aku menyetuhnya, lagi-lagi gagal.
Dosenku pernah
berkata saat aku curhat soal kebajaan hati Papa yang tak mampu kutembus. Beliau
bilang bahwa mungkin Papa belum percaya padaku. Jika benar hal itu terjadi,
maka sulit untukku mencairkan hati Papa. Aku disarankan untuk mengalah pada
semua ucapan Papa dan jangan sekali-sekali bersikeras tetap ingin melakukan apa
yang aku inginkan lalu Papa mengiyakan. Hal itu akan mustahil karena yang ada
Papa justru semakin tidak akan pernah mengizinkan aku pergi ke Jogja.
Mungkin aku harus
cari cara seperti yang disarankan dosenku. Tapi apa cara itu, aku tidak pernah
menemukan jawabannya. Yang kulakukan hanya bisa pasrah dan bersabar. Entahlah
sampai kapan.
-ooo-
“Yah, nggak diizinkan lagi?” tanya Galuh dengan raut wajah kecewa.
Begitu juga Asti dan Rizky. Serta beberapa teman lainnya yang sudah tak sabar
menyambut hari keberangkatan mereka.
Aku menebar senyum
meyakinkan mereka bahwa hal ini tak membuatku begitu terpuruk. “Santai saja.
Kalian berangkat saja tanpa gue. Kalau nunggu gue sih, kalian nggak akan
berangkat,” kuselipkan tawa dalam kata-kataku.
“Semangat ya, Sasa!
Suatu hari pasti lo bisa ke Jogja kok!” hibur Asti.
“Pasti. Gue yakin kok
kalau suatu hari gue bisa ke sana!” ucapku mantap.
“Kasihan banget ya,
padahal sudah mahasiswa, tapi masih saja nggak dibolehkan pergi ke mana-mana.”
Sebuah kalimat terucap, entahlah datang dari mana
dan terasa sangat menusuk telinga. Aku mencari sumber suara itu. “Katanya sudah
mahasiswa, harusnya, sih, dibolehkan pergi ke mana-mana. Apalagi, kan, ini
masih ada hubungannya sama kuliah gitu,” tambahnya lagi.
Aku melirik sebentar
ke arah seseorang yang masih sekelas denganku itu. Ia duduk tak jauh dari
posisiku bersama gerombolan yang lain. “Ya.. kasihan, sih, memang, gue yang
sudah segede ini masih nggak dibolehkan ke mana-mana. Bahkan pulang kuliah saja
nggak boleh kelewat jam enam sore. Tapi paling nggak sih, itu tandanya gue
masih ada yang memperhatikan.. Dan soal pergi ke Jogja itu kan nggak harus
bulan depan. Apalagi kalau perginya ngotot minta diizinkan pergi dan tangan
tinggal nerima duit orang tua seenaknya. Gue lebih kasihan sama orang yang
seperti itu sebenarnya.”
Sepertinya kalimatku
barusan membuat orang itu tercekik. Lihat saja wajahnya sekarang, penuh dengan
kebencian. Maklum saja, orang sirik itu pasti tidak pernah puas dengan apa yang
dimilikinya.
Sepertinya temanku yang satu ini belum lama
bercerita bahwa ia dilarang untuk bepergian jauh karena terlalu sering
bepergian. Mungkin sudah terlalu sering minta biaya ke orangtuanya. Tapi hebatnya,
begitu mengetahui Asti mengajakku pergi ke Jogja, tahu-tahu ia mengabari bahwa
ia diizinkan ikut perjalanan ini.
Aku tak habis pikir, seperti apa dia merengek
kepada orangtuanya agar diperbolehkan pergi? Belum lagi biaya yang akan
dikeluarkan oleh orangtuanya untuk perjalanannya nanti. Ah, lagi pula buat apa
dipikirkan. Orang seperti itu hanya menyulitkan dirinya sendiri. Hanya ingin
dilihat yang bagus-bagusnya saja oleh orang lain. Kasihan.
“Gue kemarin beli peta Jogja loh,” ucapku senang.
“Mungkin, lebih baik gue khatam baca
peta ini dulu baru pergi ke sana. Sekalian nabung dulu. Jadi nggak perlu
dibiayain orangtua, kan? Pasti perjalanan lebih menyenangkan,” kubentangkan
senyum kebangganku pada teman-temanku yang tidak pernah bosan mendengar
penolakan izin dari Papa, atau bosan mendengarkan cerita-cerita anganku soal
Jogja.
Entah kenapa
celetukan teman yang tidak suka padaku tadi serasa membangkitkan semangatku
untuk terus berusaha mencapai Jogja. Ya, mulai hari ini aku mencium aroma Jogja
yang semakin dekat. Aku yakin, suatu hari kaki ini bisa berdiri di depan Tugu
Jogja.
-ooo-
“Kamu nggak lagi merasa kalah kan, Sa, saat ini?” tanya Rizky sore
itu. Kemarin malam, rombongan paket miskin sudah berangkat menuju Jogja. Dan
demi aku, Rizky rela tidak ikut perjalanan itu. Padahal sudah kupaksa untuk
ikut saja.
“Kalah? Sama sekali
nggak kok. Aku sedang berusaha memaklumi dan mengerti bahwa Papa pasti punya
alasan kenapa aku belum diizinkan pergi ke Jogja,” aku menatap langit yang
mulai senja. “Tuhan pasti nggak pernah tidur, doaku pasti selalu didengar-Nya.”
“Jangan pernah merasa
berkecil hati ya, Sa. Semua cita-cita nggak ada yang nggak jadi kenyataan kalau
kita mau berusaha.”
Aku menatap Rizky.
“Terima kasih ya untuk dukungan dan dorongan semangat kamu selama ini. Berkat
kamu aku percaya bahwa mimpi itu bisa jadi nyata kalau kita mempercayainya.”
“Orang yang memiliki
mimpi itu, kan, berarti dia punya harapan.”
“Kalau orang yang
nggak punya mimpi?”
“Dia terlalu
memandang realitis kalau begitu. Realitis dan pesimis itu beda tipis.”
“Hahaha! Sok tau kamu
keluar lagi tuh...” tak terasa sudah hampir satu tahun lebih aku menetapkan hatiku
pada kota indah satu itu.
“Oh iya, Sa, kabar
novel kamu yang dikirim ke penerbit waktu itu belum ada kabar? Sudah tiga bulan
lebih loh,” tiba-tiba Rizky mengingatkanku pada naskah yang tiga bulan lalu
kukirim ke penerbit. Sebuah novel yang aku tulis sejak aku masuk kuliah.
Awalnya aku berharap, semoga novel itu bisa diterima penerbit dan cita-citaku
menjadi penulis tidak lagi diragukan oleh Papa. Hingga akhirnya aku mengenal
Jogja dan hal itu memunculkan konflik baru antara aku dengan Papa.
Aku menghela napas.
“Memang sih kamu selalu bilang bahwa kita harus percaya setiap perjuangan itu
ada hasilnya, tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi untuk mimpi yang satu ini, aku kok pesimistis
yah, Riz?”
“Loh? Pesimistis kenapa?”
“Aku nggak yakin kalau novel aku ini bakal keterima
penerbit... Kalau ingat yang dulu-dulu waktu berkali-kali naskahku ditolak
penerbit, itu yang membuat aku jadi nggak yakin novel yang ini pun akan lolos.
Aku juga nggak ngerti kenapa mau menerbitkan buku saja susah banget. Jangankan
novel, kirim cerpen ke majalah-majalah saja nggak ada kepastian sampai
sekarang. Bahkan, aku juga pernah punya pengalaman paling menyakitkan waktu
naskahku justru hilang dan penerbit nggak bertanggung jawab untuk mencari
naskah aku. Ditolak berkali-kali, naskah nggak jelas hilang ke mana, nggak ada
kepastian sampai bertahun-tahun, makanya kenapa aku pesimistis dan lebih
memilih untuk nggak mengharapkan saja deh.”
Rizky mengangguk-angguk seolah mengerti apa yang
aku rasakan. “Tapi jangan begitulah... Kamu tetap harus percaya, Sa. Sekarang
lebih baik lupakan saja naskah-naskah yang dulu itu, yang hilang dan nggak ada
kabar. Yang terpenting, kita tunggu kabar dari penerbit tentang naskah yang
kamu kirim tiga bulan lalu... Nggak ada yang nggak mungkin, Sa!”
Kata-kata Rizky tetap tak mengubah keyakinanku. Aku
hanya bisa diam sambil bertanya-tanya, bagaimana kabar naskahku di penerbit
sana. Apa mungkin sudah dalam proses pembacaan oleh editor? Atau malah belum
masuk proses reading karena baru
masuk dalam daftar naskah yang akan dibaca oleh editor? Atau bahkan yang lebih
parah adalah naskahku justru tertumpuk di tumpukan paling bawah karena banyak
naskah-naskah lain yang diajukan ke penerbit? Astagaaa.. Mau jadi penulis saja
sulit sekali.
“Aduuuuh, sudah deh, Riz. Lebih baik kita pulang
saja sekarang. Soal kabar dari penerbit biarkan saja lah. Yang penting sudah
berusaha.” Aku memang pengecut. Nampaknya, kegagalan belum berhasil membuatku
belajar dari pengalaman. Seharusnya, aku bisa lebih menghargai kegagalan.
Seharusnya, aku intropeksi diri mengapa kegagalan itu bisa sampai terjadi
berkali-kali. Tapi aku terlalu pengecut untuk menerima kegagalan lagi.
-ooo-
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Akan tetapi, mata ini
belum mau terlelap. Meskipun sudah diusahakan untuk terpejam sejak jam
sembilan.
Malam menjelang pagi
ini aku merindukannya yang belum pernah kujamah sama sekali. Hati ini begitu
gelisah akibat rasa ingin yang nampaknya sulit sekali kubendung malam ini. Aku
ingin sekali berada di sana, berdiri di salah satu trotoar Jalan Malioboro.
Menikmati malam yang masih tetap ramah dan hangat, ditemani dendangan nyanyian
para musisi jalanan. Saat perut lapar, hanya dengan berjalan kaki pun aku bisa
sampai di deretan lesehan angkringan. Tinggal pilih aku ingin makan nasi kucing
rasa apa. Malam menjadi semakin hangat begitu terhirup aroma susu jahe khas
kota pelajar itu.
Bosan dengan
keramaian Malioboro? Itu mustahil. Seramai apapun kondisinya, suasana tetap
hangat dan menyenangkan. Akan ada banyak senyum sapa yang begitu bersahabat.
Atau mungkin, ingin suasana yang lebih ramai dari suasana di sepanjang jalan
Malioboro? Masih ada Alun-Alun Kraton dengan sajian hiburan di sekelilingnya.
Cahaya lampu berwarna-warni dari mainan-mainan yang dijual membuat Alun-Alun
Kraton begitu memikat. Bahkan, kita bisa melakukan sejenis ritual kecil di
Alun-Alun Kraton. Hanya dengan menutup mata dan mampu melewati dua pohon
beringin yang ada di sana tanpa berbelok sedikitpun, konon katanya harapan atau
keinginan yang kita ucapkan selama melakukan ritual itu akan terkabul. Penduduk
sana mempercayai mitos itu.
Tapi yang pasti, aku
ingin sekali mampir ke Taman Sari lalu memotret tiap sudut keindahan tempat
pemandian para selir Raja pada zaman dulu itu. Sahabatku sering kali bercerita
tentang tempat itu. Membuatku semakin penasaran. Rindu ini semakin ingin tumpah
saja begitu teringat dengan pantai Prangtritis yang eksotik dan fenomenal itu.
Lengkap sudah yang namanya surga.
Tanpa sadar,
lamunanku membuatku terlelap kemudian. Dalam pejaman mataku, kulihat Tugu Jogja
dengan cahayanya yang indah di malama hari. Aku berlari, terus berlari menghampirinya.
Tapi yang kudapat, tugu itu semakin menjauh dan menghilang.
-ooo-
Sayup-sayup kudengar suara kokok ayam membangunkan tidurku. Kubuka
kedua mataku perlahan. Peta Jogjakarta yang beberapa bulan lalu kubeli dengan
uang jajanku sendiri, tertempel manis di dinding kamar. Benda itulah yang
kulihat pertama kali begitu aku terbangun dari lelapku.
“Hai, Jogja. Selamat
pagi! Malioboro masih tetap ramai, kan, pagi ini? Aku ingin beli sampur di
pasar Beringharjo, titip salam untuk penjualnya, ya!” kataku bicara sendiri,
lebih tepatnya bicara pada peta.
Aku bangkit segera
keluar kamar. menuju kamar mandi dan mencuci muka, serta menyikat gigi. Begitu
keluar dari kamar mandi, kulihat Papa sedang membaca koran di ruang makan.
“Sudah bangun?” sapa
Papa pagi itu. Aku berjalan mendekati meja makan dan menyambar segelas susu
yang sudah disiapkan Mama untukku.
“Sudah..”
“Jadi, mau naik apa
nanti ke Jogja? Jangan lupa makan tepat waktu, istirahat yang cukup.
Berkeliling boleh saja, tapi tetap jaga kondisi tubuh. Menginap di mana nanti?”
Aku terdiam. Sungguh,
ucapan Papa barusan membuatku bingung. Maksudnya apa?
“Menginap? Menginap
di mana bagaimana? Naik apa ke Jogja bagaimana maksudnya?”
“Loh, kok kamu malah
nanya balik pada Papa? Kamu mau berangkat ke Jogja, kan?”
“Hah? Jogja?”
kebingunganku semakin bergejolak. Apa mimpiku masih berlangsung dan sebenarnya
aku belum bangun dari tidurku?
“Kamu belum baca
surat beramplop coklat di ruang tamu itu, ya? Papa baca itu soalnya, Papa pikir
kamu sudah tau..”
“Surat? Amplop coklat
yang mana?” penasaran, aku segera ke ruang tamu. Ada amplop coklat di meja
dengan kondisi sudah terbuka lemnya. Mungkin karena dibaca oleh Mama yang
menerima, lalu Papa barusan. Aku merogoh kertas di dalam amplop dan
mengeluarkannya. Tak sabar aku ingin membaca apa isi surat itu.
Yth. Raisa Zafira Prameswari
di Jakarta
Dengan hormat,
Sehubungan
dengan naskah Anda yang berjudul “Ada Cinta di Jogjakarta”, kami informasikan
bahwa kami tertarik untuk menerbitkan naskah tersebut. Mohon segera mengirimkan
naskah dalam bentuk softcopy untuk kelanjutan penerbitan, kami tunggu hingga
tanggal 31 Januari 2012.
Dengan
ini pula kami informasikan bahwa sehubungan dengan terbitnya naskah Anda, kami
mengundang Anda dalam acara launching buku di salah satu toko buku di
Jogjakarta. Waktu dan lokasi akan kami hubungi lebih lanjut.
Atas
perhatian dan kerja sama Anda, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Editor Fiksi Penerbit Violet
Aku terduduk lemas di
sofa ruang tamu. Sebuah titik basah menghiasi surat yang masih dengan erat ku
genggam. Air mata bahagiaku menetes. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi selain
menangis sambil tertawa. Memeluk surat sekencang-kencangnya. Aku bahkan masih
tak menyangka bahwa ini benar-benar nyata.
Aku masih ingat betul
bagaimana waktu itu aku berkata pada Rizky bahwa aku begitu pesmistis novel ini
akan diterbitkan. Tapi hari ini, ketidakyakinanku terjawab sudah. Aku merasa
sangat bodoh karena harus setengah-setengah dalam mepercayai mimpi-mimpiku.
Tuhan bahkan tidak marah ketika aku tidak lagi mau berusaha meyakinkan diriku
sendiri bahwa aku memang bisa, aku memang berkualitas. Tuhan masih memberikan
hadiah terindah untukku pagi ini.
Aku membaca sekali
lagi surat itu. Bahkan berkali-kali. Isinya masih sama dan tak berubah sedikitpun.
Sebentar lagi aku akan jadi penulis. Karyaku akan dipajang di rak-rak toko buku
di seluruh Indonesia. Mungkin akan diletakkan di rak ‘buku laris’ beberapa toko
buku. Amin, ya Tuhan... Amin.
Setelah menjadi
penulis, akan ada banyak orang yang mengenalku. Mungkin mengidolakan karyaku. Berbondong-bondong
duduk di barisan kursi depan untuk menyaksikan talkshow seputar novelku. Rela mengantri dan bersabar menunggu
giliran bertatap wajah denganku, meminta tandatanganku. Ahhh... Mungkinkah
suatu hari aku akan merasakan itu semua?
Tunggu, sepertinya
ada yang lebih penting dari sekedar novelku diterima oleh penerbit. Kubaca lagi
surat itu. Apa? Jogja? Apa aku tidak salah baca? Atau semua ini hanya mimpi
yang begitu aku terbangun, aku masih tetap aku yang dengan mimpi-mimpinya.
Bukan aku yang naskahnya akan diterbitkan dan akan pergi ke Jogja karena
bukunya.
“Ya Allah... Jogja?”
tanyaku pada diriku sendiri. “Ini nggak bohong kan?”
“Jadi bagaimana? Mau
naik apa ke Jogja? Papa sarankan sih Argo saja yang nyaman dan cepat sampai. Oh
ya, itu tanggal berapa? Izin kuliah beberapa hari juga tidak masalah kok. Yang
penting selama di sana kamu jelas bepergian dengan siapa, menginap di mana,
jangan lupa untuk makan tepat waktu dan istirahat yang cukup.”
Ucapan Papa yang
panjang lebar belum juga membuatku sadar seratus persen. Aku benar-benar takut
jika semua ini hanya mimpi, bunga tidur. Tidak akan pernah menjadi kenyataan.
“Ini.. nggak mimpi
kan, Pa?” tanyaku pada Papa. beliau justru menatapku heran.
“Mimpi apa? Kamu
masih tidur ya menyangka ini mimpi?”
“Jadi, ini
benar-benar nyata?”
“Iya, Nak...”
Kupeluk Papa kuat-kuat. Aku menangis
sejadi-jadinya. Melepas semua tangisan yang pernah tertahan hanya karena ingin
dianggap anak kuat oleh Papa. Kulepas semua deru air mataku yang mengalir tanpa
perlu menahan isak seperti dulu, hanya karena supaya tidak dianggap anak
cengeng oleh Papa.
“Teruslah berkarya, jangan cepat merasa puas dengan
keberhasilanmu saat ini. Ini semua baru permulaan, Nak. Di depan sana, masih
banyak rintangan yang harus kamu hadapi. Kamu harus bisa menargetkan dirimu
sendiri untuk masa depanmu. Meskipun mimpimu sudah tercapai, jangan pernah
hidup tanpa punya mimpi. Teruslah bermimpi dan teruslah berusaha untuk
mewujudkannya...”
Pasti, Pa.. Pasti!
Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi selain menjawab semua ucapan Papa lewat
suara hati. Yang terdengar saat ini hanya isak tangis bahagiaku dalam pelukan
Papa.
Terima kasih Papa atas semua kasih sayangmu,
bimbinganmu, nasihatmu, semua hal yang telah Papa ajarkan padaku. Tentang
kemandirian, keberanian, ketegaran, dan tentang cita-cita... Tanpamu, aku hanya
seorang anak yang tak punya mimpi, yang tak mengerti bagaimana caranya berusaha
dan berjuang demi cita-cita. Terima kasih, Papa. Aku sayang Papa.
-ooo-
Hai, Jogja. Apa kabar? Aku harap kamu masih tetap istimewa. Tetap
menjadi yang terindah dalam hatiku. Tetap menjadi yang nomor satu dalam
perjuangan hidupku.
Sebentar lagi, kita
akan bertemu, Jogja. Setelah sekian lama aku menantikan saat-saat seperti ini, akhirnya
sebentar lagi kedua kakiku akan menyentuh bumi Jogja. Penciumanku yang peka
akan aromamu, sebentar lagi akan benar-benar nyata menghirup wangi keramahanmu.
Jogja... Aku akan memelukmu sebentar lagi. Untukmu Jogja, kupersembahkan semua
perjuangan yang telah aku lewati hingga hari ini, semua doa yang tak henti kupanjatkan
pada Tuhan hingga hari ini.
Tunggu aku, Jogja.
Sebentar lagi, kita akan berjumpa. Semoga saat kita bertatap, senyummu masih
tetap sama.
“Sa, siap-siap ya,
sebentar lagi kita sampai!” kata Rizky membuyarkan lamunanku. Papa tidak bisa
ikut denganku ke Jogja karena pekerjaan di kantor yang tidak mungkin ditinggal
untuk tiga hari ke depan. Sebagai gantinya, Papa meminta tolong Rizky untuk
mendampingiku. Keberangkatanku semakin terasa membahagiakan karena
teman-temanku sempat mengantar hingga stasiun Senen tadi malam.
“Deg-deg-an?” tanya
Rizky.
“Iya,” aku
mengangguk. Perlahan Rizky mengenggam tanganku. Aku balas mengenggamnya lebih
erat.
“Dingin banget tangan
kamu,”
“Nervous,”
“Jogja kan ramah,
tidak perlu takut dia tidak akan mau menerimamu. Kedatangan kamu pasti dengan
sangat terbuka diterimanya,” ucapan Rizky berhasil membuatku tersentuh. Hampir
saja aku menangis terharu dibuatnya. “Sampai Jogja, apa yang ingin pertama kali
kamu lakukan?”
“Foto dengan plang
Jalan Malioboro,” senyumku mengembang disusul dengan senyuman Rizky. Kupeluk
lengannya erat-erat mencoba membagi kebahagiaan ini padanya.
Papa, sebentar lagi
aku tiba di Jogja. Doamu dikabulkan oleh Tuhan karena aku sampai Jogja dengan
selamat. Terima kasih, Papa, atas doamu yang tak pernah berhenti untukku.
Kereta memasuki peron
stasiun Tugu Jogja. Lewat jendela kereta, untuk pertama kalinya aku melihat
tempat yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Bismillahirrahmanirrahim...”
aku keluar dari kereta dan menghirup udara Jogja, untuk pertama kalinya. Tanpa
sadar, aku menitikkan air mataku karena kakiku akhirnya menapak di atas tanah
Jogja. Bahkan aku belum mampu melangkah lagi. Aku justru memilih untuk bersujud
sebagai rasa syukurku atas semua keberkahan yang tak hentinya Tuhan berikan
padaku.
Terima kasih,
Tuhan... Terima kasih. Kali ini Kau telah membuktikan bahwa mimpi bukan hanya
sekedar mimpi. Cita-cita bukan hanya sekedar cita-cita. Dan Jogja bukan hanya
sekedar Jogja. Kini aku benar-benar bersyukur, Tuhan. Sebab berkatMu, aku mampu
mewujudkan mimpi-mimpiku. Dan Jogja, yang sedari awal kupercaya hanya sebuah
mimpi, itu memang benar Tuhan.
Jogja hanya mimpi.
Mimpi yang dapat kuwujudkan dengan perjuanganku sendiri. Mimpi yang kupercaya
memang bisa tercapai. Mimpi yang berkatMu, semua ini menjadi sangat
teristimewa.
“Terima kasih,
Rizky...” ucapku pada Rizky yang berusaha membantuku bangkit dari sujudku.
“Terima kasih untuk
apa?”
“Untuk semuanya.
Untuk mimpi yang memang seharusnya kita percaya.”
Rizky tersenyum.
“Sama-sama, Sa. Aku bahagia kalau kamu bahagia. Ayo bangun! Jogja sudah
menantimu,”
Di depan sana,
sepanjang mataku jauh memandang, ada petualangan seru yang akan segera dimulai.
Ada ribuan perjalanan yang akan terlampaui dengan cita-cita dan mimpi-mimpi
baru. Jogja, aku datang...
-Tamat-