23 Januari 2014

Cerbung (Part I)

"Berangkat lagi?!"

Kesel nggak, sih, setelah berhari-hari nggak bisa ketemu pacar, begitu sekalinya ketemu, eh pacar udah mengabari kalau minggu depan akan berangkat naik gunung lagi. Nggak ketemu lagi. Nggak kontak-kontakkan lagi.

Itu yang aku rasakan sekarang. Pagi tadi, dengan semangat empat lima aku bangun pagi-pagi sekali demi hari ini. Ya, hari ini aku akan ketemuan dengan pacarku. Hari-hari seperti ini, sangat terasa spesial buatku. Sebab, kami sudah berhari-hari tidak bertemu dan saling kirim pesan via telepon. Pacarku baru saja pulang dari pendakiannya di gungung Sindoro-Sumbing. Kini, perasaan bahagiaku dan angan-angan bisa memadu rindu hari ini, pupus sudah.

Aku duduk di kursiku dengan pandangan marah, jengkel. kutatap pacarku yang duduk di hadapanku dengan perasaan biasa saja. Seolah-olah keterkejutanku tadi merupakan hal biasa baginya.

"Iya nih, minggu depan aku ke Semeru, Ndut. Ah, aku seneng banget, Ndut, waktu Aldo bilang di perjalanan pulang kemarin kalau kita semua akan ke Semeru minggu depan. Kerennya lagi, Aldo bahkan sudah mempersiapkan semuanya. Aku sama anak-anak tinggal berangkat aja."

Masih kupandangi wajah pacarku yang berbinar-binar saat bercerita. Aku geram sekali rasanya. Seolah-olah ia bahagia sendiri. Saat dia bercerita tentang kegembiraannya itu, apa dia memikirkan perasaanku?

"Ndut," kini Indra menatapku agak lama setelah dia ketawa-ketiwi sambil menyantap Red Velvetnya. "Kenapa sih, kok diem? Pasti kamu juga kaget, ya?"

Apa dia bilang? Jelaslah aku kaget mendengar ceritanya. Bahkan saking kagetnya, aku jengkel sekali rasanya.

"Ndra, saat kamu naik gunung, kamu pernah mikirin aku?" kini aku melemah. Lebih tepatnya menahan amarah, seperti yang sudah-sudah.

"Loh, kok kamu nanya kayak gitu sih, Ndut?" tanya Indra bingung. "Ya pasti aku inget kamu lah, Sayang... Masa sama pacar aku sendiri, aku lupa," Indra melempar senyumnya yang sejak pertama kali bertemu hingga kini selalu membuatku jatuh cinta.

"Stop tersenyum kayak gitu sama aku, Ndra!" amarahku mulai tak mampu kukontrol. Suaraku meninggi begitu saja. Ada sesuatu yang membuat hatiku terasa sesak. Entahlah sejak kapan, kurasakan air mataku mulai menggenang.

"Kamu kenapa sih, Ndut? Kok jadi marah-marah?"

"Harusnya kamu mikir dulu sebelum kamu nanya kayak gitu!" jawabku. "Kamu tuh nggak pernah mikirin perasaan aku, Ndra! Apa kamu pernah nanya sama aku, gimana perasaan kamu saat kamu tinggal mendaki berhari-hari, berminggu-minggu? Tanpa kabar, tanpa pesan?!"

"Ndut... Kok jadi begini sih?" Indra mulai panik melihat amarahku lepas begitu saja. Ia berusaha menggenggam tanganku, tapi aku segera menepisnya. Air mataku terlanjur jatuh bersama kekesalan dan emosiku yang selama ini terpendam.

"Aku capek, Ndra. Aku capek kalau harus ditinggal-tinggal kamu terus. Aku juga butuh waktu... Kamu itu pacar aku, Ndra. Dan aku ini bukan mainan kesayangan kamu yang hanya kamu temui pada saat-saat tertentu saja. Kamu cerita panjang lebar tanpa kasih aku kesempatan untuk balik bercerita. Aku manusia, Ndra, aku juga punya perasaan. Aku bisa nangis, aku bisa marah!"

Kesal, jengkel, marah. Nafsu makanku hilang seketika. Padahal sejak berhari-hari yang lalu aku begitu menantikan hari ini, berkunjung ke toko kue dan mencicipi Red Velvet berdua dengan Indra. Bahkan tempat ini Indra yang merekomendasikan. Apalah arti penantianku jika sampai di sini, aku hanya mendengar Indra akan berangkat mendaki lagi.

Kuputuskan untuk menyudahi menyantap kue berwarna merah itu. Kulap bibirku dengan kasar dari sisa-sisa kue yang menempel di bibir. Lalu aku bangkit dengan gusar, dan pergi begitu saja.

Indra mengejarku. Tetapi ia tertahan karena harus membayar pesanan kami tadi. Aku tak peduli lagi dia meminta untuk ditunggu. Aku terus berjalan keluar toko begitu seorang pelayan membantu membukakan pintu. Kusunggingkan senyumku yang tertahan padanya sebagai ucapan terima kasih.

"Sissy! Tunggu, Sy!"

Aku dengar Indra berkali-kali memanggilku. Keputusanku bulat. Aku ingin pulang. Aku ingin menjauh darinya. Aku tak ingin bertemu dengannya. Dan aku tak peduli jika minggu depan Indra akan berangkat mendaki lagi.

Segeralah aku masuk ke dalam taksi kosong. Kukunci pintu dan kusuruh supir untuk segera menjalankan mobilnya. Teriakan Indra semakin mendekat. Indra mengetuk-ketuk kaca jelndela taksi yang kunaiki, berharap aku turun dan tidak pulang sendiri. Terlebih lagi dengan suasana kacau seperti ini. Bersamaan dengan itu, taksi melaju meninggalkan Indra yang berdiri mematung memandangiku pergi.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar