24 Januari 2014

Cerbung (Part II)

Kacau. Dan semuanya gara-gara Indra.

Sepanjang perjalanan, air mataku nggak juga berhenti mengalir. Supir taksi sejak tadi pasti sudah penasaran atau malah kebingungan melihatku terus-terusan menangis di kursi belakang. Jengkel beradu pedih itu rasanya membuat dada sesak. Cewek memang bisanya cuma nangis saat nggak tahu lagi harus bagaimana untuk menghadapi masalahnya.

Sekitar lima menit lalu, aku meninggalkan Indra di depan toko kue. Aku nggak peduli berapa ratus kali dia mengetuk-ketuk kaca jendela mobil agar aku keluar dan tak jadi pulang. Aku butuh waktu untuk sendiri.

Tak berapa lama kemudian, handphone-ku berdering. Kulihat di layar handphone, sahabatku yang menghubungi. Dengan kesal, akhirnya kuangkat juga telepon darinya.

"Halo," kataku.

"Halo, Sy! Di mana lo?" tanya sahabatku di seberang sana. Mendengar nadanya, sepertinya dia panik.

"Taksi."

"Iya, di mana?"

"Kenapa sih emangnya? Lo bukannya lagi masuk kerja ya hari ini?" tanyaku kesal.

"Iya, tapi gue lagi istirahat. Tadi Indra nelpon gue, katanya kalian berantem? Ada apa lagi sih, Sy?"

"Indra tuh ya?!" aku memejamkan mata sambil menahan kekesalanku mengetahui Indra yang begitu mudahnya mencari orang lain dan menceritakan masalahnya. "Bisa nggak sih dia nggak membawa-bawa orang lain di saat lagi ada masalah sama gue,"

"Jadi gue orang lain, Sy?" protes Tata.

"Setidaknya tuh dia menyelesaikannya sendiri, Ta!"

"Dia panik kali, Sy, lo tiba-tiba ngamuk nggak jelas dan pergi ninggalin dia begitu aja. Lo juga dong, jangan melulu nyalahin Indra yang apa-apa bawa orang lain. Lo sendiri, udah cukup dewasa menyelesaikan masalah lo dengan cara pergi ninggalin semuanya begitu aja kayak sekarang?"

"Lo nggak ngerti, Ta!"

"Lo yang nggak mau membuat diri lo sendiri untuk lebih mengerti sama keadaan yang lagi terjadi, Sy. Lo ada masalah, tapi lo nggak menceritakan masalah lo apa. Gimana Indra mau ngerti kalo lo merasa terganggu dengan kegiatannya? Tapi lo juga nggak bisa ninggalin dia begitu aja,"

"Terus semuanya salah gue? Ta, selama ini siapa sih yang lebih sering pergi? Indra, Ta! Dia nggak pernah sedikitpun mikirin perasaan gue saat dia naik gunung inilah, itulah, ke sanalah, ke sinilah. Nggak, Ta! Dia nggak tau gimana kuatirnya gue saat nggak juga dapet kabar dari dia selama berhari-hari, berminggu-minggu. Yang dia tau itu cuma bagaimana caranya berhasil sampai puncak gunung satu dan lainnya!"

"Ya lo bilang dong sama Indra, jangan lo ceritain hal yang sama aja kayak gini ke gue. Bukan gue yang harus tau tentang perasaan lo, Sy, tapi Indra..." kalimat terakhir Tata terdengar lebih lembut dari sebelumnya. Bibirku bergetar menahan tangis yang tiada hentinya.

Pikiranku berputar-putar membuatku pusing. Hatiku terus saja menyalahkan Indra. Sementara mulutku tak lagi mampu mengeluarkan kata-kata. Kutahan tangisku dengan mengigit bibir bawahku. Tak kuat lagi, kulepas isak tangis yang tertahan sejak tadi.

Sengaja, kumatikan tombol power di handphoneku agar tak ada seorang pun dapat mengubungiku. Benarkah Indra khawatir padaku? Benarkah Indra bingung dengan sikapku ini? Benarkah selama ini Indra tidak mengerti apa yang kumaksud selama ini? Benarkah aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri?

Nggak adil. Ini nggak adil. Harusnya Indra tahu bagaimana seorang perempuan terlebih pacarnya sendiri saat ditinggal berhari-hari tanpa kabar ke tempat-tempat berbahaya seperti di alam bebas sana. Seharusnya Indra tahu apa yang harus dia katakan untuk sekadar menenangkanku selama dia pergi. Tak bisakah dia memahami itu? Apakah harus aku juga yang mengatakannya?

Satu tahun pacaran, hampir lebih sering sendirian dibanding berdua dengan Indra. Apa ini yang namanya pacaran? Oke, terserah Indra sekarang maunya apa. Aku nggak peduli. Dia mau naik gunung sesering apapun, aku nggak akan peduli lagi. Dia harus tahu, dia harus mengerti bagaimana rasanya jika tak ada lagi yang memperhatikannya seperti dulu.

(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar