28 Oktober 2013

Dongeng: Nawangsih dan Rinangku

Suasana pesantren sedang tegang. Aku sadar, Ayah sedang berususah payah mengembalikan semua keadaan seperti semula. Aku juga tahu, Ayah sedang berusaha mencari bukti bahwa yang terdengar dan digunjingkan akhir-akhir ini adalah salah.
Di pesantren, tiada hari tanpa aku melihat banyak santri membicarakan tentang fitnah yang disebarkan Cabolek. Pria itu telah berhasil membuat Rinangku masuk dalam perangkapnya. Kini Ayah semakin diuji kebijaksanaannya sebagai pemimpin di pondok pesantren. Semua ini terjadi hanya karena Cabolek iri hati pada Rinangku.
Sudah sejak lama aku tahu jika Ayah sedang mencari seorang menantu untuk dijodohkan denganku. Dalam hal ini, sebagai seorang guru di pondok pesantren, Ayah pun tidak sembarangan memilih calon suami untukku. Ayah mulai memperhatikan para santri di pondok pesantren, terutama para santri yang pandai-pandai. Kelak, Ayah ingin memiliki seorang menantu yang dapat dipercaya tanggung jawabnya terhadap keluarga.
Hingga akhirnya Ayah seakan telah menentukan pilihan. Tak kusangka Ayah merasa simpati pada salah seorang santri yang bernama Cabolek. Sungguh aku terkejut mengetahui hal itu. Tak pernah kubayangkan, aku akan mengabdi seumur hidupku pada pria bertubuh cebol itu. Sudah cebol, wajahnya pun tak tampan. Itulah mengapa orang-orang memanggilnya Cebolek.
“Anakku, sebagai seorang ayah, sudah tanggung jawabku mencarikanmu calon pendamping hidup yang kelak dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada keluarga. Telah kuputuskan, Cebolek memang pria yang pantas untukmu, Nak,” begitulah kata-kata Ayah begitu aku dipanggil untuk berbicara empat mata dengannya.
Kuberanikan diri membuka suara. “Maafkan aku jika aku lancang, Ayah. Aku berterima kasih karena Ayah mau repot-repot mencarikanku calon suami, tapi… sungguh aku belum ingin menikah. Apalagi dengan pria pilihan Ayah saat ini,” kusadari suaraku bergetar. Seumur hidupku, aku belum pernah membantah Ayah.
“Jangan terburu-buru, Nawangsih, Anakku,” Ayah menyentuh bahuku seakan memberi kekuatan. “Kau bisa melakukan pendekatan dulu dengan Cebolek. Sering-seringlah bicara dengannya, maka kau akan tahu tentangnya lebih jauh dan dalam lagi. Hanya dia yang kupercaya dapat mendampingimu dibanding santri yang lain,”
Aku terdiam tak menjawab perkataan Ayah. Aku mengigit bibir bawahku menahan kekesalan di dalam hatiku. Sungguh aku tak mengerti mengapa Ayah dengan begitu mudahnya bersimpati kepada Cebolek. Sejak saat itu, kuperhatikan Cebolek mulai mendekatiku lebih gencar. Sebisa mungkin aku terus menghindarinya. Rupanya, Cebolek tidak mudah menyerah. Kudengar dari para santri yang lain, Cebolek terlanjur menaruh hati padaku. Tuhan, jangan persulit aku pada keadaan ini.
Sejenak aku berpikir, Tuhan mendengar rintihan doaku. Hingga Tuhan kirimkan seorang pemuda ke pondok pesantren Ayah. Ia bernama Rinangku, putra dari Ki Pangandaran yang kutahu sangat berkuasa di daerah Semarang lewat cerita Ayah. Sebagai pemimpin pondok pesantren, Ayah menyambut kedatangan Rinangku. Ia pemuda tampan dan memikat hati. Pertama kali aku melihatnya, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentang putra Ki Pangandaran itu.
Di suatu hari, aku dan Rinangku bertemu pandang. Kudapati ia memberi salam hormat padaku. Tingkah sopannya membuatku semakin jatuh hati padanya.
“Bolehkan hamba bertanya pada Tuan Putri?” tanya Rinangku.
“Dengan senang hati, aku akan menjawabnya,” jawabku.
“Benarkah engkau wahai putri nan cantik jelita adalah Nawangsih, putri dari Sunan Muria, pemimpin dari pondok pesantren ini?”
“Betul, Pangeran. Aku adalah Nawangsih, anak Sunan Muria. Jika boleh aku meminta, cukuplah engkau memanggilku dengan nama Nawangsih,”
Lagi-lagi kudapati Rinangku agak membungkuk menghormatiku. “Baiklah jika engkau meminta, Tuan Putri,”
“Cukup Nawangsih, Rinangku,” sekali lagi, kutatap Rinangku yang juga menatapku. Setelah itu, dengan segera aku pergi dari hadapannya. Aku tidak ingin terlalu lama bertatapan dengannya. Sebab aku tak kuat menahan pesona kharismanya.
Tetapi tak kusangka, pertemuanku yang singkat itu diketahui oleh Cebolek. Api cemburu telah membakar hatinya. Kecemburuan itu membuatnya tak dapat berpikir jernih. Ia menghalalkan segala cara untuk mencelakakan Rinangku. Pada suatu hari di kerusuhan perampok, Cebolek dengan kepandaiannya mengambil hati Ayah agar Ayah menyuruh Rinangku menangkap perampok-perampok itu. Ayah pun menanggapi saran Cebolek dengan kewajaran. Sudah sepantasnya sebagai santri di pondok pesantren, Rinangku diuji kepandaiannya. Di balik itu semua, Cebolek justru menginginkan Rinangku mati di tangan perampok-perampok. Tapi kenyataan berkata lain, Rinangku justru berhasil menangkap perampok-perampok itu dan membawanya ke pondok pesantren. Bahkan perampok-perampok itu ingin bertobat dan berguru kepada Ayah. Mengetahui hal itu, Cebolek semakin tersisihkan dan dendam pada Rinangku.
Dendam Cebolek berlanjut. Ia menyebarkan fitnah tentang Rinangku yang diam-diam memasuki kamarku yang jelas-jelas melanggar kesopanan dan adat sebagai santri. Aku tahu Cebolek telah merencanakan ini semua. Ia menjebak kami. Malangnya, Ayah tidak percaya jika Cebolek pelaku dari semua ini. Hingga akhirnya Ayah menghukum Rinangku untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Ayah. Sejak itu kami terpisah.
“Kuperintahkan engkau untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh Masih. Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri yang memanggilmu,” perintah Ayah pada Rinangku. Aku menyaksikan perintah itu. Ada Cebolek juga di sana dengan senyum kemenangannya.
Kutatap Rinangku yang dengan mantap menuruti perintah Ayah. Ia segera meninggalkan pondok pesantren, terlebih lagi meninggalkanku. Aku tak mampu mencegahnya, sekalipun untuk mengucapkan salam perpisahan. Ayah yang terlanjur terhasut, melarangku untuk berhubungan dengan Rinangku. Hal ini membuatku semakin tersudut. Sejak awal, aku tahu bahwa Cebolek tidak benar-benar baik untukku. Tidakkah Ayah menyadari itu?
“Tenanglah, Anakku. Aku yakin Rinangku tidak benar-benar melakukan hal buruk itu. Bersabarlah, aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Ayah.
“Ayah percaya padaku bahwa Rinangku tidak bersalah? Rinangku hanya difitnah, Ayah. Mungkin ada seseorang yang tidak menyukainya,” tuturku setengah menangis pada Ayah.
“Bersabarlah,” pesan Ayah.
Aku akan bersabar, Ayah. Kusadari kau begitu bersusah payah mencari tahu kebenaran ini. Kau yakin bahwa Rinangku memang tidak bersalah. Dan aku yakin bahwa kau adalah pemimpin yang bijaksana.
Ketegangan demi ketegangan pun terus kuhadapi. Tuduhan-tuduhan pada Rinangku terus kuterima dengan besar hati. Aku bersabar hingga akhirnya Ayah berhasil menemukan jawabannya bahwa Rinangku tidak bersalah. Segeralah Ayah, aku, dan para santri mendatangi Rinangku hendak mengajak pulang.
Kulihat gubuk yang menjadi tempat Rinangku tinggal selama di sawah. Kudapati ia sedang duduk di depan gubuk menghadap sawah. Ingin sekali aku berlari dan mengatakan padanya bahwa Ayah telah percaya dirinya tidak bersalah, dan aku sangat merindukan wajah tampannya.
Akan tetapi, raut wajah Ayah berubah begitu sampai di depan gubuk. Hal itu membuat khayalan indahku pun buyar.
“Ayah, ada apa?” tanyaku lembut.
Ayah tak menjawab. Dengan menahan amarah, ia bertanya pada Rinangku. “Hei Rinangku, mengapa tak kau usir burung-burung itu? Jika burung-burung terus memakan padiku, padiku tidak akan bisa dipanen,”
Dengan hormat dan santun, Rinangku menjawab, “Bapak Guru, di manakah kesalahanku yang mendengar perintahmu untuk menjaga burung-burung yang memakan padi? Jika semua ini rusak, izinkan aku memperbaikinya,” dalam sekejap, padi-padi itu pulih kembali dan siap panen.
“Lancang kau, Rinangku. Aku tahu kau hebat, tapi tidaklah kau pantas berpamer dihadapan gurumu ini!” marah Ayah.
“Ayah, sudah, Ayah,” aku memohon pada Ayah yang tersinggung hatinya melihat niat baik Rinangku. Bagi Ayah, tidaklah pantas seorang murid menunjukkan keahliannya tanpa diminta atau pamer di hadapan gurunya.
“Diam kau, Nawangsih. Aku sungguh kecewa padanya!” bentak Ayah.
“Ayah, aku mohon, Ayah. Sungguh tentu bukan maksud Rinangku menghina Ayah dengan apa yang dilakukannya,” aku menangis sambil memohon. Aku terlanjur mengharapkan ada akhir yang indah setelah Ayah menjemput Rinangku, bukan akhir yang justru akan sangat dinikmati oleh Cebolek.
“Aku tidak terima, Rinangku. Sekarang, rasakan kerisku ini!”
“Jangan, Ayah….!” Aku berlari ke arah Rinangku dan memeluknya. Bersamaan dengan keris Ayah yang hendak Ayah hujamkan ke dada Rinangku, justru tertancap ke punggungku.
“Nawangsih!” kudengar teriakan Ayah bersamaan dengan Rinangku. Mereka sama-sama terkejut.
Kurasakan sakit yang amat sangat di punggungku. Tak kuasa aku menahannya. Dalam pelukan Rinangku, aku menatapnya. Dan melihat wajah Ayah yang menatap kosong ke arahku.
“Ayah…” rintihku.
“Anakku…” kulihat Ayah menitikkan air matanya. “Anakku… mengapa harus dirimu…?”
“Maafkan aku, Ayah… Tolong, jangan sakiti Rinangku, Ayah tahu Rinangku tidak bersalah… Ayah tahu bukan Rinangku dalang dari semua ini…” ucapku terbata-bata. Darah keluar dari mulutku. Kurasakan kehangatan yang Rinangku hantarkan lewat genggaman tangannya. Kutatap wajahnya lekat. Mungkin bisa menjadi sebuah kehangatan dalam kepergianku.
“Mengapa kau lakukan ini, Nawangsih? Harusnya aku yang mati… Jangan tinggalkan aku, Nawangsih…” itulah kata-kata Rinangku yang terakhir kali kudengar. Setelah itu, semuanya gelap. Aku tak mendengar apa-apa lagi. Semoga di kehidupan selanjutnya, aku dan Rinangku akan bertemu lagi.

------------------------------------------
Depok, 20 Oktober 2013
Digubah dari cerita dongeng Kudus berjudul Kisah Cinta Nawangsih dan Rinangku sebagai tugas kuliah Penulisan Populer di FIB UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar