Suasana
pesantren sedang tegang. Aku sadar, Ayah sedang berususah payah mengembalikan
semua keadaan seperti semula. Aku juga tahu, Ayah sedang berusaha mencari bukti
bahwa yang terdengar dan digunjingkan akhir-akhir ini adalah salah.
Di
pesantren, tiada hari tanpa aku melihat banyak santri membicarakan tentang
fitnah yang disebarkan Cabolek. Pria itu telah berhasil membuat Rinangku masuk
dalam perangkapnya. Kini Ayah semakin diuji kebijaksanaannya sebagai pemimpin
di pondok pesantren. Semua ini terjadi hanya karena Cabolek iri hati pada
Rinangku.
Sudah
sejak lama aku tahu jika Ayah sedang mencari seorang menantu untuk dijodohkan
denganku. Dalam hal ini, sebagai seorang guru di pondok pesantren, Ayah pun
tidak sembarangan memilih calon suami untukku. Ayah mulai memperhatikan para
santri di pondok pesantren, terutama para santri yang pandai-pandai. Kelak,
Ayah ingin memiliki seorang menantu yang dapat dipercaya tanggung jawabnya
terhadap keluarga.
Hingga
akhirnya Ayah seakan telah menentukan pilihan. Tak kusangka Ayah merasa simpati
pada salah seorang santri yang bernama Cabolek. Sungguh aku terkejut mengetahui
hal itu. Tak pernah kubayangkan, aku akan mengabdi seumur hidupku pada pria
bertubuh cebol itu. Sudah cebol, wajahnya pun tak tampan. Itulah mengapa
orang-orang memanggilnya Cebolek.
“Anakku,
sebagai seorang ayah, sudah tanggung jawabku mencarikanmu calon pendamping
hidup yang kelak dapat dipercaya dan bertanggung jawab kepada keluarga. Telah
kuputuskan, Cebolek memang pria yang pantas untukmu, Nak,” begitulah kata-kata
Ayah begitu aku dipanggil untuk berbicara empat mata dengannya.
Kuberanikan
diri membuka suara. “Maafkan aku jika aku lancang, Ayah. Aku berterima kasih
karena Ayah mau repot-repot mencarikanku calon suami, tapi… sungguh aku belum
ingin menikah. Apalagi dengan pria pilihan Ayah saat ini,” kusadari suaraku
bergetar. Seumur hidupku, aku belum pernah membantah Ayah.
“Jangan
terburu-buru, Nawangsih, Anakku,” Ayah menyentuh bahuku seakan memberi
kekuatan. “Kau bisa melakukan pendekatan dulu dengan Cebolek. Sering-seringlah
bicara dengannya, maka kau akan tahu tentangnya lebih jauh dan dalam lagi.
Hanya dia yang kupercaya dapat mendampingimu dibanding santri yang lain,”
Aku
terdiam tak menjawab perkataan Ayah. Aku mengigit bibir bawahku menahan
kekesalan di dalam hatiku. Sungguh aku tak mengerti mengapa Ayah dengan begitu
mudahnya bersimpati kepada Cebolek. Sejak saat itu, kuperhatikan Cebolek mulai
mendekatiku lebih gencar. Sebisa mungkin aku terus menghindarinya. Rupanya,
Cebolek tidak mudah menyerah. Kudengar dari para santri yang lain, Cebolek
terlanjur menaruh hati padaku. Tuhan, jangan persulit aku pada keadaan ini.
Sejenak
aku berpikir, Tuhan mendengar rintihan doaku. Hingga Tuhan kirimkan seorang
pemuda ke pondok pesantren Ayah. Ia bernama Rinangku, putra dari Ki Pangandaran
yang kutahu sangat berkuasa di daerah Semarang lewat cerita Ayah. Sebagai
pemimpin pondok pesantren, Ayah menyambut kedatangan Rinangku. Ia pemuda tampan
dan memikat hati. Pertama kali aku melihatnya, aku merasakan ada sesuatu yang
membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentang putra Ki Pangandaran itu.
Di
suatu hari, aku dan Rinangku bertemu pandang. Kudapati ia memberi salam hormat padaku.
Tingkah sopannya membuatku semakin jatuh hati padanya.
“Bolehkan
hamba bertanya pada Tuan Putri?” tanya Rinangku.
“Dengan
senang hati, aku akan menjawabnya,” jawabku.
“Benarkah
engkau wahai putri nan cantik jelita adalah Nawangsih, putri dari Sunan Muria,
pemimpin dari pondok pesantren ini?”
“Betul,
Pangeran. Aku adalah Nawangsih, anak Sunan Muria. Jika boleh aku meminta, cukuplah
engkau memanggilku dengan nama Nawangsih,”
Lagi-lagi
kudapati Rinangku agak membungkuk menghormatiku. “Baiklah jika engkau meminta,
Tuan Putri,”
“Cukup
Nawangsih, Rinangku,” sekali lagi, kutatap Rinangku yang juga menatapku.
Setelah itu, dengan segera aku pergi dari hadapannya. Aku tidak ingin terlalu
lama bertatapan dengannya. Sebab aku tak kuat menahan pesona kharismanya.
Tetapi
tak kusangka, pertemuanku yang singkat itu diketahui oleh Cebolek. Api cemburu
telah membakar hatinya. Kecemburuan itu membuatnya tak dapat berpikir jernih.
Ia menghalalkan segala cara untuk mencelakakan Rinangku. Pada suatu hari di
kerusuhan perampok, Cebolek dengan kepandaiannya mengambil hati Ayah agar Ayah
menyuruh Rinangku menangkap perampok-perampok itu. Ayah pun menanggapi saran
Cebolek dengan kewajaran. Sudah sepantasnya sebagai santri di pondok pesantren,
Rinangku diuji kepandaiannya. Di balik itu semua, Cebolek justru menginginkan
Rinangku mati di tangan perampok-perampok. Tapi kenyataan berkata lain,
Rinangku justru berhasil menangkap perampok-perampok itu dan membawanya ke
pondok pesantren. Bahkan perampok-perampok itu ingin bertobat dan berguru
kepada Ayah. Mengetahui hal itu, Cebolek semakin tersisihkan dan dendam pada
Rinangku.
Dendam
Cebolek berlanjut. Ia menyebarkan fitnah tentang Rinangku yang diam-diam
memasuki kamarku yang jelas-jelas melanggar kesopanan dan adat sebagai santri. Aku
tahu Cebolek telah merencanakan ini semua. Ia menjebak kami. Malangnya, Ayah
tidak percaya jika Cebolek pelaku dari semua ini. Hingga akhirnya Ayah
menghukum Rinangku untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Ayah.
Sejak itu kami terpisah.
“Kuperintahkan
engkau untuk menjaga burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh Masih.
Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri yang memanggilmu,” perintah Ayah
pada Rinangku. Aku menyaksikan perintah itu. Ada Cebolek juga di sana dengan
senyum kemenangannya.
Kutatap
Rinangku yang dengan mantap menuruti perintah Ayah. Ia segera meninggalkan
pondok pesantren, terlebih lagi meninggalkanku. Aku tak mampu mencegahnya,
sekalipun untuk mengucapkan salam perpisahan. Ayah yang terlanjur terhasut,
melarangku untuk berhubungan dengan Rinangku. Hal ini membuatku semakin
tersudut. Sejak awal, aku tahu bahwa Cebolek tidak benar-benar baik untukku.
Tidakkah Ayah menyadari itu?
“Tenanglah,
Anakku. Aku yakin Rinangku tidak benar-benar melakukan hal buruk itu. Bersabarlah,
aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Ayah.
“Ayah
percaya padaku bahwa Rinangku tidak bersalah? Rinangku hanya difitnah, Ayah.
Mungkin ada seseorang yang tidak menyukainya,” tuturku setengah menangis pada
Ayah.
“Bersabarlah,”
pesan Ayah.
Aku
akan bersabar, Ayah. Kusadari kau begitu bersusah payah mencari tahu kebenaran
ini. Kau yakin bahwa Rinangku memang tidak bersalah. Dan aku yakin bahwa kau
adalah pemimpin yang bijaksana.
Ketegangan
demi ketegangan pun terus kuhadapi. Tuduhan-tuduhan pada Rinangku terus
kuterima dengan besar hati. Aku bersabar hingga akhirnya Ayah berhasil
menemukan jawabannya bahwa Rinangku tidak bersalah. Segeralah Ayah, aku, dan
para santri mendatangi Rinangku hendak mengajak pulang.
Kulihat
gubuk yang menjadi tempat Rinangku tinggal selama di sawah. Kudapati ia sedang
duduk di depan gubuk menghadap sawah. Ingin sekali aku berlari dan mengatakan
padanya bahwa Ayah telah percaya dirinya tidak bersalah, dan aku sangat
merindukan wajah tampannya.
Akan
tetapi, raut wajah Ayah berubah begitu sampai di depan gubuk. Hal itu membuat
khayalan indahku pun buyar.
“Ayah,
ada apa?” tanyaku lembut.
Ayah
tak menjawab. Dengan menahan amarah, ia bertanya pada Rinangku. “Hei Rinangku,
mengapa tak kau usir burung-burung itu? Jika burung-burung terus memakan
padiku, padiku tidak akan bisa dipanen,”
Dengan
hormat dan santun, Rinangku menjawab, “Bapak Guru, di manakah kesalahanku yang
mendengar perintahmu untuk menjaga burung-burung yang memakan padi? Jika semua
ini rusak, izinkan aku memperbaikinya,” dalam sekejap, padi-padi itu pulih
kembali dan siap panen.
“Lancang
kau, Rinangku. Aku tahu kau hebat, tapi tidaklah kau pantas berpamer dihadapan
gurumu ini!” marah Ayah.
“Ayah,
sudah, Ayah,” aku memohon pada Ayah yang tersinggung hatinya melihat niat baik
Rinangku. Bagi Ayah, tidaklah pantas seorang murid menunjukkan keahliannya
tanpa diminta atau pamer di hadapan gurunya.
“Diam
kau, Nawangsih. Aku sungguh kecewa padanya!” bentak Ayah.
“Ayah,
aku mohon, Ayah. Sungguh tentu bukan maksud Rinangku menghina Ayah dengan apa
yang dilakukannya,” aku menangis sambil memohon. Aku terlanjur mengharapkan ada
akhir yang indah setelah Ayah menjemput Rinangku, bukan akhir yang justru akan
sangat dinikmati oleh Cebolek.
“Aku
tidak terima, Rinangku. Sekarang, rasakan kerisku ini!”
“Jangan,
Ayah….!” Aku berlari ke arah Rinangku dan memeluknya. Bersamaan dengan keris
Ayah yang hendak Ayah hujamkan ke dada Rinangku, justru tertancap ke
punggungku.
“Nawangsih!”
kudengar teriakan Ayah bersamaan dengan Rinangku. Mereka sama-sama terkejut.
Kurasakan
sakit yang amat sangat di punggungku. Tak kuasa aku menahannya. Dalam pelukan
Rinangku, aku menatapnya. Dan melihat wajah Ayah yang menatap kosong ke arahku.
“Ayah…”
rintihku.
“Anakku…”
kulihat Ayah menitikkan air matanya. “Anakku… mengapa harus dirimu…?”
“Maafkan
aku, Ayah… Tolong, jangan sakiti Rinangku, Ayah tahu Rinangku tidak bersalah…
Ayah tahu bukan Rinangku dalang dari semua ini…” ucapku terbata-bata. Darah
keluar dari mulutku. Kurasakan kehangatan yang Rinangku hantarkan lewat
genggaman tangannya. Kutatap wajahnya lekat. Mungkin bisa menjadi sebuah
kehangatan dalam kepergianku.
“Mengapa
kau lakukan ini, Nawangsih? Harusnya aku yang mati… Jangan tinggalkan aku,
Nawangsih…” itulah kata-kata Rinangku yang terakhir kali kudengar. Setelah itu,
semuanya gelap. Aku tak mendengar apa-apa lagi. Semoga di kehidupan
selanjutnya, aku dan Rinangku akan bertemu lagi.
------------------------------------------
Depok, 20 Oktober 2013
Digubah dari cerita dongeng Kudus berjudul Kisah Cinta Nawangsih dan Rinangku sebagai tugas kuliah Penulisan Populer di FIB UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar