Matahari
cukup terik ketika kulirik jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Kuputuskan
untuk membelokkan langah kakiku menuju kantin. Orang-orang menyebutnya Kansas,
singkatan dari Kantin Sastra.
Kansas
sudah berdiri sejak aku kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya. Bahkan,
sudah berdiri jauh sebelum aku diterima menjadi mahasiswa UI. Pertama kali aku
melihat Kansas, bentuknya hampir mirip seperti gubuk. Tak kusangka ada juga
banyak dosen yang menyebut Kansas seperti kandang sapi. Dari luar, Kansas
memang terlihat menyedihkan dan kurang meyakinkan. Tetapi, bagi sebagian orang
yang betah di sana, mereka menganggap Kansas sebagai rumah kedua mereka.
Kini,
aku terduduk di salah satu kursi kosong ditemani dengan segelas Capucinno yang
baru saja kubeli. Sekilas, Kansas yang sekarang jauh berbeda dengan Kansas tiga
tahun yang lalu. Atap Kansas tidak lagi terbuat dari jerami, kondisinya jauh
lebih baik sekarang. Kursi-kursi dan mejanya tidak lagi berwarna
merah-kuning-hijau-biru, semuanya berwarna putih. Sekarang siapa saja bisa
duduk di mana saja. Tidak seperti dulu, setiap jurusan memiliki wilayahnya
sendiri sesuai dengan warna kursi.
“Aku
tunggu di Kansas,” kukirim sebuah pesan singkat ke nomor ponsel sahabatku. Aku
janjian dengan sahabatku di kampus. Sepertinya ia masih les bahasa Jepang di
LBI. Kuputuskan untuk menunggu.
Capucinnoku
mulai berkurang sedikit demi sedikit. Hawa Kansas sangat panas jika siang-siang
seperti ini. Tapi anehnya, banyak orang yang betah makan siang sambil
kipas-kipas atau sibuk mengelap keringat yang terus mengalir. Dua kipas angin
yang terpasang di atap Kansas semakin tidak berguna. Buang-buang listrik.
Kansas
terlihat lebih sepi pada hari Sabtu dibandingkan hari kuliah seperti hari Senin
hingga Jumat. Pada kelima hari itu, kursi Kansas jauh lebih penuh diduduki.
Bahkan terbilang sangat padat. Semua orang menuju satu titik untuk menyumpal
caing-cacing di perut mereka sedangkan waktu yang mereka punya untuk makan
siang tidak banyak. Tidak ada jalan lain, hanya Kansas tempat makan yang paling
dekat dan terjangkau. Meskipun harus makan dalam kondisi terburu-buru, kursi
yang terbatas, banyak piring kotor di meja-meja yang baru saja ditinggalkan
oleh penghuni setia Kansas, dan puluhan lalat ikut meramaikan.
Tak
peduli hari ini hari apa, Kansas tetap panas dan berlalat. Beberapa kursi
kosong tak berpenghuni. Hanya ada sekitar 5 meja yang terisi oleh sekelompok
mahasiswa. Aku duduk di salah satu sisi Kansas yang menghadap ke arah taman
pohon Kamboja. Sekilas dari kejauhan, kursi dan meja Kansas memang dicat putih.
Jika dilihat lebih dekat, warnanya justru terbilang mendekati abu-abu. Coretan
di mana-mana. Bahkan ada juga gambar-gambar ilustrasi di sana.
Beberapa
mahasiswa berbondong-bondong mulai memasuki Kansas dari arah taman pohon
Kamboja. Sepertinya para peserta kelas LBI baru saja usai kelas. Kansas pun
mulai ramai. Di belakang saya, duduklah segerombol mahasiswi dengan obrolan
yang cukup mengasyikkan. Sebab suara mereka hampir mendominasi di Kansas.
Meskipun musik koplo dari warung satai di sudut sebelah kiri dari aku duduk,
masih jauh lebih keras berkumandang. Di hadapanku, ada beberapa pria-pria yang
duduk sendirian di meja yang berbeda. Mereka menyantap makan siang mereka
dengan tatapan kesepian, berharap ada seorang teman mengajaknya makan siang
sambil berbincang-bincang.
Tiba-tiba
suara cicit burung mengalihkan pandanganku. Sekelebat beberapa burung gereja
tampak mondar mandir terbang menyebrangi Kansas. Beberapa penjual makanan juga
seliweran ke sana kemari untuk mengantarkan pesanan. Di hari Sabtu begini, Mas
Roni, penjual ayam penyet yang paling terkenal di Kansas, masih sibuk
menyiapkan pesanan. Ayam penyetnya selalu laku. Tidak jauh dari warung Mas
Roni, terdapat dua orang pria sedang beradu kepintaran di atas papan catur.
Aku
semakin tidak tahan dengan hawa panas yang meyerangku. Juga para lalat yang
sejak tadi mampir mendarat di mejaku. Selain itu, kutatap pula seekor kucing
yang berhasil naik ke meja untuk menghabiskan sisa-sisa makanan dan beberapa
remahan di sekelilingnya. Kesal karena tak punya kipas, kukibas-kibaskan
tanganku demi mendapatkan sebuah angin. Tetapi hasilnya, nihil. Atap Kansas
yang mengerucut sepertinya tidak berfungsi dengan baik, udara yang masuk
seakan-akan terperangkap dan tidak bisa keluar.
Kuputuskan
untuk menghabiskan Capucinnoku yang tinggal sedikit. Sejak tadi aku
mencari-cari, tetapi sahabatku belum juga muncul di Kansas. Jangan-jangan pesan
singkatku tadi belum dibacanya dan ia meninggalkanku di sini. Baru saja aku
akan menelponnya, ia lebih dulu menghubungiku.
“Halo,
Ra,” serunya di seberang.
“Halo,
Ti, di mana? Masih kelas?” tanyaku tak sabar.
“Aku
baru baca SMS-mu. Maaf, Ra, aku lupa memberitahumu bahwa aku tidak ke kampus
hari ini. Lesku libur dan sekarang aku masih di kosan, baru bangun.”
Kudengar
tawa renyah cekikikan di seberang sana. Geram sekali rasanya dibiarkan menunggu
di tengah hawa panas seperti ini dan tidak menghasilkan apa-apa. Tanpa membalas
ucapan sahabatku tadi, aku langsung memutus telepon.
“Awas
saja kamu, akan aku guyur kamu nanti setibanya aku di kosanmu!” ancamku dalam
hati. Segeralah dengan kesal, aku bergegas menuju kosan sahabatku.
-------------------------------
Depok, 29 September 2013
Ditulis dalam rangka tugas mata kuliah Penulisan Populer di FIB UI mengenai Deskripsi Tempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar