6 Januari 2013

Aku Sayang Kamu. Begitu Juga Kamu, Iya Kan?


Aku sayang kamu. Begitu juga kamu, iya kan?

Awalnya kita tak saling kenal. Tapi suatu ketika, sore itu, kita bisa berkenalan.
Berjabat tangan, dan kau sebut namamu. Aku masih ingat jelas, suasana di depan gerbang sekolah waktu itu.

Waktu tidak berhenti sampai di sore itu. Tentu berganti pagi.
Kita bertemu lagi, berpapasan saat aku ingin ke kantin. Kau tersenyum, membuatku tersipu malu. Tak tahukah kamu, jantungku berdetak seperti lajunya kereta?
Gombal. Tapi memang itu yang kurasa saat senyummu terpancar.

Sepulang sekolah, kulihat kau berdiri di tempat kita pertama kali berkenalan.
Aku ingat hari itu kita punya janji untuk pulang bersama. Kau sapa aku dengan lambaian tanganmu. Membuat teman-temanku iri, katanya ingin juga disapa olehmu.
Lagi-lagi, aku hanya tersenyum malu.

Kita berdua, berjalan bersama. Beriringan berdampingan. Malu-malu, tanganmu kaku bersembunyi di balik saku celana. Padahal aku berharap saat itu… hahaha, aku hanya bisa tertawa bodoh dalam hati pada harapan itu.

Tak tahukah kamu, aku selalu menikmati saat-saat kita bersama. Hanya ada kita berdua. Di mana pun tempatnya. Tentang apapun kita bicarakan. Semuanya seakan terasa tak biasa, terasa lebih indah, meski hanya dengan makan es krim di pinggir jalan.

Aku ingat sesuatu. Di mana saat kau genggam tanganku erat. Tatapan matamu seolah bicara, meminta dengan tulus agar hatiku menjadi milikmu seutuhnya. Tak tahukah kamu saat itu, bulu kudukku seolah berdiri, merinding karena sentuhan cintamu? Dan lagi-lagi aku hanya bisa tersipu malu.

Hari terus melaju, tak berhenti. Cerita demi cerita, kisah demi kisah, mengiringi langkah kita berdua. Tawa, canda, tangis, ego, amarah, cemburu… semuanya. Kujalani kisahku dengan sepenuh hati. Tak ingin sekalipun kulukai perasaanmu, kusayat hatimu, apalagi sampai kutikam jantungmu. Hahaha, saking tergilanya aku jatuh cinta padamu, aku jadi semakin gombal.

Tapi…
Suatu ketika kurasakan kau mulai berubah. Ada yang lain denganmu. Apa itu, di bagian mana itu, aku tak mengerti. Aku hanya berharap pada Tuhan agar bisa memberiku kebesaran hati menghadapi perubahanmu.

Sulit memang jika tiba-tiba harus menerima perubahanmu. Tak ada lagi tawa yang sesering dulu, tak ada lagi eratnya genggaman tanganmu, tak ada lagi hangatnya dekapanmu, tak ada lagi manisnya kata-katamu. Dan haru ku akui, tak ada lagi kita di antara kita. Tapi yang ada justru kita di antara baying-bayangnya dalam hatimu.

Salahkah jika aku harus memilih tuk pergi?
Haruskah aku marah saat kau tak berusaha menarikku agar aku tak pergi dari hatimu?
Mampukah aku berdiri tanpa dirimu di sampingku?

Aku kira aku sanggup. Aku kira aku tak akan marah. Dan aku kira aku memang tidak salah.

Tapi aku salah telah meninggalkanmu hanya karena tak mampu memahamimu, bahwa kamu butuh aku untuk semua itu. Untuk membantumu melupakan semua itu. Untuk mengiringi langkahmu agar kamu terbiasa olehku.

Tapi ternyata aku marah pada diriku sendiri karena kau tak menahanku. Kau lebih memilih membiarkan aku pergi, bahkan untuk selamanya. Tak pernah kau tarik aku lagi, meski hanya sedetik, dua detik, satu menit, satu jam…

Tapi ternyata aku tak mampu berdiri sendiri. Memperhatikanmu dari jauh. Memandangimu yang tertawa di kejauhan sana. Mendoakanmu setiap malamnya. Membiarkan diriku ada di sini, tak mampu untuk mendekatimu lagi. Aku jauh di sini, jauh dari pandanganmu, jauh dari jagaanmu, hanya bisa berharap waktu mau memberiku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki semuanya…

Tak bisakah kau mengerti, bahwa hatimu sudah kelewat mati.
Tak bisakah kau pahami, bahwa kata-katamu sudah kelewat sadis.

Tengok aku meski sekali. Lihat aku menangis di sini.
Jika hatimu bisa lunak meski sedikit, kau akan temukan sebuah kata…

Aku sayang kamu. Begitu juga kamu, iya kan?


21 Maret 2011, pk.21:33
*terinspirasi dari pengalaman seorang sahabat. Semoga aka nada hari indah suatu hari untukmu, kawan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar